PARADIGMA BARU PENDIDIKAN ISLAM
MENUJU PENDIDIKAN YANG HUMANIS
Oleh: Ali Murtadlo MS.
A. Pendahuluan
Kasus peledakan Wall Trade Centre (WTC) di Amerika Serikat pada 11 September 2001 (untuk skala internasional) dan bom Bali pada 12 Oktober 2002 (untuk skala nasional Indonesia) setidaknya menjadi dua kasus terbesar yang menyebabkan perubahan world view terhadap buruknya dunia Islam. Belum sempat pertanyaan media Barat—khususnya Amerika Serikat—“why we hate muslims” terjawab tuntas, telah berubah menjadi “why muslims hate us”. Asosiasi para pemikir Barat jika mendengar “Islam”, kata Arkoun, adalah fanatisme, anti toleransi, sikap menentang hak-hak asasi manusia, fundamentalisme, dan sebagainya. World view itu juga tertuju kepada Indonesia, suatu negara yang berpenduduk mayoritas umat Islam. Di Indonesia kasus-kasus semacam itu hampir-hampir tak terhitung lagi jumlahnya. Demikian juga dengan kerusuhan-kerusuhan antar etnis, antar umat beragama, dan sebagainya. Radikalisme agama, maraknya korupsi, pembunuhan, tindakan-tindakan amoral, banyaknya pengangguran, sampai perkelahian antar pelajar semakin menambah buramnya wajah Indonesia. Singkat kata, Indonesia menjadi gudang pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM).
Dari sudut pandang dunia pendidikan, kasus-kasus seperti diungkapkan di atas pada dasarnya merupakan cerminan dari outcome pendidikan. Pendidikan di Indonesia yang telah berlangsung selama ini belum mampu menghasilkan outcome sebagaimana yang dicita-citakan dalam program pembangunan pendidikan yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara maupun Pembukaan Undang-undang Dasar Negara 1945. Pendidikan nasional Indonesia mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Bisa juga dikatakan bahwa pendidikan nasional Indonesia mengalami “kegagalan” apabila dihadapkan beberapa kasus seperti tersebut di atas. Kenyataan ini telah menjadi keprihatinan bersama masyarakat kita. Jangan sampai kondisi demikian akan selalu menggelapkan raut muka dan wajah buruk pendidikan kita. Sudah saatnya, reformasi pendidikan perlu untuk segera dan secara massif diupayakan, yaitu gagasan dan langkah untuk menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan.
Keinginan itu didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara pendidikan dan manusia tidak bisa dipisahkan. Driyarkara menyebut pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jadi, pada dasarnya manusia adalah produk pendidikan. Karena itu, jalan yang ditempuh seharusnya menggunakan massifikasi jalur kultural, bukan model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.
Proses pendidikan yang berakar pada kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma (paradigma shift) ke arah pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia, oleh karena itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan untuk terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut. Yang dimaksud dengan paradigma baru pendidikan Islam pemikiran yang terus-menerus harus dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali kepemimpinan iptek, sebagaimana zaman keemasan dulu.
Mengapa kegagalan itu terjadi? Mengapa perubahan paradigma pendidikan menuju ke arah pendidikan yang berorientasi kemanusiaan itu diperlukan? Upaya-upaya apa yang dilakukan? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menggunakan kacamata segitiga text, interpreter, dan reader. Kajian akan difokuskan kepada pendidikan Islam, dengan asumsi bahwa dalam sistem pendidikan Islam terkandung sistem nilai religius yang komprehensif yang diajarkan kepada subyek didik, dan telah berlangsung sejak sebelum kedatangan bangsa kolonial ke Indonesia. Namun kenyataannya, pendidikan Islam belum berhasil menyingkirkan penyebab kemunduran dan pengikis nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya.
B. Paradigma Lama Pendidikan Islam
Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan Islam yang ada selama ini mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Meminjam analisis HAR Tilaar, seperti dikutip Qodri Azizi, ada beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan Islam. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dan sentralistik. Pola uniformitas dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan Islam tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Di sini masyarakat hanya dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa.
Paradigma (lama) pendidikan Islam lebih cenderung pada: sentralistik, kebijakan lebih bersifat top down, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat parsial. Hal ini terjadi karena pendidikan Islam didisain untuk sektor pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan, serta teknologi perakitan. Karena itu, peran pemerintah sangat dominan dalam kebijakan pendidikan, dan peran institusi pendidikan dan institusi non-sekolah sangat lemah.
Pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, yaitu pendidikan sebagai penggerak dan loko pembangunan. Pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Kemudian agar berhasil melaksanakan fungsinya, pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya dan bukan sebaliknya. Dalam lembaga pendidikan formal berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori diuji, berbagai metode akan dikembangkan, dan berbagai tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih. Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan dengan sistem persekolahan tidak dapat berperan sebagai penggerak dan loka pembangunan. Goss (1984) dalam Education versus Qualifications, menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vakasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.
Sistem pendidikan Islam telah terbangun sejak abad pertengahan (periode Islam). Prakteknya dilakukan dengan mengkaji dan mempelajari teks-teks keagamaan dengan metode hafalan, bersifat mekanis, mengutamakan pengkayaan materi, sudah harus ditinggalkan untuk menuju paradigma baru pendidikan. Mestinya, pendidikan dan pengajaran dalam Islam bukanlah sekedar kegiatan untuk mewariskan harta kebudayaan dari generasi terdahulu kepada generasi penggantinya yang hanya memungkinkan bersifat reseptif, pasif, menerima begitu saja.
Gambaran sekilas di atas menunjukkan adanya dis-komunikasi antara tiga komponen utama pendidikan (baca: pembelajaran), yaitu kurikulum, guru, dan murid dalam bingkai pembelajaran yang tidak demokratis. Kurikulum sebagai refleksi dari “bentuk manusia ideal” yang diinginkan setelah mengikuti pembelajaran tidak akomodatif dengan realitas yang terjadi di masyarakat. kurikulum menjadi sesuatu yang—dalam bahasa al-Jabiri, infishal —berdiri sendiri, terpisah dari realitas kehidupan. Ironisnya, kurikulum yang demikian dipahami secara bayani oleh guru tanpa mengadakan interpretasi dan mengorelasikan dengan realitas kehidupan. Kondisi demikian diperparah dengan murid yang berposisi reseptif, pasif, dan taken for granted. Dis-komunikasi ini, anehnya, didukung oleh sistem birokrasi yang kaku, yang acapkali dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan atau alat politik penguasa. Pendek kata sitem pendidikan yang telah berlangsung selama ini justru tidak berakar pada budaya bangsa yang bersifat humanis, karena itu diperlukan perubahan paradigma.
Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut bersumber pada kelemahan sistem pendidikan yang tidak mungkin disempurnakan hanya lewat upaya pembaruan yang bersifat tambal sulam, tetapi (a) harus dimulai dari mencari paradigma peran pendidikan dalam upaya memberdayakan masyarakat. (b) Pendidikan menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini. (c) Pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan. (d) Pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur (e) Pendidikan Islam didisain untuk mampu menjawab tantangan masyarakat madani. Rahman, mengatakan perlu mewarnai bidang-bidang kajian tingkat tinggi dengan nilai-nilai Islam. "Masalah pokoknya bagaimana "memodernisasi" pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam. ...perlu perluasan wawasan intelektual Muslim dengan cara menaikkan standar-standar intelektualnya.
Pembaruan itu dilakukan agar pendidikan Islam tetap mampu mempertahankan relevansinya di tengah-tengah laju pembangunan dan pembaruan paradigma sekarang ini, sehigga pendidikan Islam akan melahirkan manusia yang belajar terus (long life education), mandiri, disiplin, terbuka, inovatif, mampu memecahkan dan menyelesaikan berbagai problem kehidupan serta berdayaguna bagi kehidupan dirinya dan masyarakat menuju masyarakat madani Indonesia.
C. Menuju Pendidikan Islam yang Humanis
Paradigma pendidikan Islam itu harus diubah menjadi: disentralistik, kebijakan lebih bersifat bottom up, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat holistik; artinya pendidikan ditekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum. Meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif dalam upaya pengembangan pendidikan, pemberdayaan institusi masyarakat, harus diorientasikan kepada terbentuknya masyarakat madani Indonesia. Dengan kata lain, paradigma pendidikan Islam harus diubah dari paradigma yang berwatak feodal ke paradigma pendidikan yang berjiwa demokratis, yang didalamnya—dalam bahasa Freire—terdapat “hubungan timbal-balik” permanen berbentuk dialog antara para pemimpin revolusioner (guru) dan kaum tertindas (murid) dalam menerjemahkan kurikulum.
Pengalihan paradigma dari pendidikan sentralisasi ke paradigma pendidikan desentralisasi, sehingga menjadi pendidikan Islam yang kaya dalam keberagaman, dengan titik berat pada peran masyarakat dan peserta didik, memerlukan “kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain, pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial, pendidikan dalam rangka pemberdayaan umat dan bangsa, pemberdayaan infrastruktur sosial untuk kemajuan pendidikan Islam. Pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk mencapai keunggulan, penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalam kemajemukan. Dari pandangan ini, berarti diperlukan perencanaan terpadu secara horizontal (antarsektor) dan vertikal (antar jenjang – bottom-up dan top-down planning), pendidikan harus berorientasi pada peserta didik dan pendidikan harus bersifat multikultural serta pendidikan dengan perspektif global.”
Pengalihan paradigma pendidikan Islam dipandang sangat perlu dan mendesak. Pergeseran paradigma pendidikan terjadi, seiring dengan terjadinya aliran informasi dan pengetahuan yang begitu cepat dengan efisiensi penggunaan jasa teknologi informasi internet yang memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemampuan dan waktu. Penggeseran paradigma tersebut juga didukung dengan adanya kemauan dan upaya untuk melakukan reformasi total di berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara menuju masyarakat madani Indonesia, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, pergeseran paradigma pendidikan tersebut juga diakui sebagai akibat konsekuensi logis dari perubahan masyarakat, yaitu berupa keinginan untuk merubah kehidupan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan, menghargai hak asasi manusia, taat hukum, menghargai perbedaan dan terbuka menuju masyarakat madani Indonesia.
Perubahan paradigma pendidikan juga terjadi sebagai akibat dari “percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang antara lain sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan. Paradigma ini dikenal sebagai distributed intelligence (distributed knowledge).” Kondisi ini, akan berpengaruh pada fungsi tenaga pendidik (guru dan dosen) dan lembaga pendidikan beralih dari sebuah sumber menjadi mediator ilmu pengetahuan. Proses long life learning dalam dunia pendidikan informal yang sifatnya lebih learning based dari pada teaching based akan menjadi kunci perkembangan sumber daya manusia. Peranan web, homepage, cd-rom merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge semakin berkembang. Hal ini, secara langsung akan menentang sistem kurikulum yang rigid dan sifatnya terpusat dan mapan yang kini lebih banyak dianut dan lebih difokuskan pada pengajaran (teaching) dan kurang pada pendidikan (learning-based).”
Kurikulum seharusnya tidak dimaknai sebatas muatan isi dan materi pelajaran, atau rencana pembelajaran untuk membelajarkan siswa sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku, tetapi juga perlu dimaknai sebagai pengalaman belajar baik yang terjadi di dalam kelas maupun di luar kelas. Pemaknaan demikian mengantarkan kepada dialogisasi antara kurikulum itu sendiri, guru, dan murid melalui proses pembelajaran untuk mempercepat distributed knowledge. Berangkat dari pemaknaan kurikulum yang demikian, maka ilmu pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari banyak pemikiran yang sifatnya konsensus bersama dan tidak terikat pada dimensi birokrasi atau struktural.
Pendidikan Islam harus segera berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong cepatnya laju informasi dan pengetahuan, dan dapat menjawab tantangan perubahan kehidupan masyarakat, supaya tidak tertinggal dalam persaingan global. Untuk itu, paling tidak pendidikan Islam harus memperhatikan beberapa cirinya, yaitu: (a) lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching). (b) diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel. (c) memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan (d) merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Keempat ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat.
Berdasarkan pandangan di atas, maka peran pendidikan Islam mestinya bukan hanya dipahami dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses pembelajaran), melainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya , sehingga pendidikan Islam integratif antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat (learning society).
Kerangka acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan Islam menuju masyarakat madani Indonesia, harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif sehingga terdapat keterpaduan dalam beberapa prinsip, yaitu: Pertama, prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain dan harus senantiasa bersama-sama dengan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat karena pendidikan Islam bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan sistem sosialnya. Prinsip ini juga mengandung arti bahwa pendidikan Islam merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa (seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi), dan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh (seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha). Tujuannya agar untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan. Kedua, prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama, mengingat kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat pluralistik. Prinsip ini memberi makna bahwa pendidikan Islam sangat memperhatikan pengarusutamaan gender. Wanita yang sering menjadi masalah ketika dihadapkan dengan laki-laki, karena norma, standar baik buruk (baca: kemampuan wanita) ditentukan oleh laki-laki tidak berlaku dalam prinsip ini. Ketiga, prinsip open minded. Pendidikan Islam selalu dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakat. Maka, pendidikan Islam selalu bersifat progresif tidak resisten terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan. Prinsip ini menggunakan pendekatan rekonstruksionis yang lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang. Keempat, prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus menjadi pertimbangan. Kelima, prinsip pendidikan multikultural. Sistem pendidikan Islam harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat positif dan konstruktif. Keenam, pendidikan dengan prinsip global, artinya pendidikan Islam harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global.
Pelaksanaan pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan kebutuhan masyarakatnya pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Karena keterkaitan ini memiliki arti, bahwa peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan peserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain pendidikan yang bersifat double tracks, menekankan pengembangkan pengetahuan melalui kombinasi terpadu antara tuntutan kebutuhan masyarakat, dunia kerja, pelatihan, dan pendidikan formal persekolahan, sehingga sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat yang senantiasa berubah dengan cepat. Benang merah yang dapat ditarik dari pelaksanaan pendidikan Islam yang bersifat double tracks ini adalah adanya hubungan yang dialogis antara kurikulum (sebagai text), guru (sebagai interpreter) dan murid (sebagai reader) dalam bingkai pembelajaran yang mengutamakan al-‘aql al-jadid al-istithla’i atau the content state of negotiating process.
Pendidikan Islam harus dikembangkan berdasarkan paradigma yang: (1) didasarkan pada filsafat teocentris dan antroposentris sekaligus. Pendidikan Islam yang ingin dikembangkan adalah pendidikan yang menghilangkan atau tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama, serta ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas dinilai. Selain itu, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisional, melainkan juga sisi rasional.” (2) membangun keilmuan dan kemajuan kehidupan yang integratif antara nilai spritual, moral dan meterial bagi kehidupan manusia. (3) membangun komposisi manusia dan mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetetif, inovatif berdasarkan nilai-nilai Islam. (4) disusun atas dasar kondisi lingkungan masyarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi pada masa akan datang, karena perubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan dan peluang yang harus diproses secara capat dan tepat. Pendidikan Islam yang dikembangkan selalu diorientasikan pada perubahan lingkungan, karena pendekatan masa lalu hanya cocok untuk situasi masa lalu dan sering tidak tepat jika diterapkan pada kondisi berbeda, bahkan sering kali menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan. (5) diupayakan untuk memberdayakan potensi umat yang disesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat madani. Sistem pendidikan Islam harus dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat madani yang demokratisasi, memiliki kemampuan partisipasi sosial, mentaati dan menghargai supermasi hukum, menghargai hak asasi manusia, menghargai perbedaan (pluralisme), memiliki kemampuan kompotetif dan kemampuan inovatif. (6) Penyelenggaraannya berdasarkan pendidikan demokratis baik dalam manajemen maupun dalam penyusunan kurikulum, desentralistik. Pendidikan Islam harus mampu mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi di dalam dunia kerja, mengembangkan sikap dan kemampuan inovatif serta meningkatkan kualitas manusia. (7) lebih menekankan dan diorientasikan pada proses pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang lebih bersifat fleksibel, menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang, dan diupayakan sebagai proses berkesinambungan serta senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. (8) diarahkan pada dua dimensi, yaitu “Pertama, dimensi dialektika (horizontal) yaitu pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan manusia harus mampu mengatasi tantangan dunia sekitarnya melalui pengembangan iptek, dan Kedua, dimensi ketundukan vertikal, yaitu pendidikan selain sarana untuk memantapkan, memelihara sumberdaya alam dan lingkungannya, juga memahami hubungannya dengan Sang Maha Pencipta, yaitu Allah Swt” (9) diorientasikan pada upaya “pendidikan sebagai proses pembebasan, pendidikan sebagai proses pencerdasan, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian, pendidikan sebagai proses pemberdayaan potensi manusia, pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif, pendidikan sebagai wahana membangun watak persatuan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik, pendidikan menghasilkan manusia perduli terhadap lingkungan”, dan harus dibangun suatu pandangan bahwa “sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan”, karena informasi dan ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai media elektornik dan media massa, seperti : internet dengan peran web, homepage, cd-rom, diskusi di internet, dan televisi, radio, surat kabar, majalah yang merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge.
D. Pembelajaran yang Humanis
Pembelajaran sebagai inti dari setiap proses pendidikan adalah kegiatan trans-internalisasi nilai-nilai dan pengetahuan. Terdapat berbagai model pembelajaran yang humanistik yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
Humanizing of the classroom dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Di sini siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar, mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
Quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Asas utama model ini adalah bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).
Konsep dasar pembelajaran The accelerated learning adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pencetus model ini, Dave Meier menyarankan agar guru mengelola kelas dengan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI).
Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.
Pembelajaran dalam paradigma baru pendidikan Islam menggunakan persenyawaan antara anthropocentris (kekhalifahan) dan theocentris (penghambaan). Artinya proses perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi penghambaan dan kekhalifahan.
Dimensi theocentris (hablun min Allâh) dan anthropocentris (hablun min al-nâs) adalah dua dimensi bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, dimensi anthropocentris dan dimensi theocentris pada hakikatnya mewujudkan kesejahteraan anthropocentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan. Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Persenyawaan antara theocentris (hablun min Allâh) dan anthropocentris (hablun min al-nâs) hanya akan terwujud apabila proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan the content state of negotiating process. Metode yang digunakan adalah metode burhani. Secara struktur, metode ini bermula dari proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas, sehingga muncul makna. Makna membutuhkan aktualisasi atas apa yang dimaksud sehingga bisa dimengerti dan dipahami. Untuk itu, bahasa dijadikan sebagai alat komunikasi disamping sebagai simbol pernyataan makna. Secara struktural metode ini memiliki tahap-tahap: (1) pengamatan terhadap realitas, (2) proses abstraksi atau terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran, dan (3) ekspresi, yaitu pengungkapan realitas yang dimaksud dalam kata-kata. Implementasinya dalam pembelajaran, metode ini terwujud dalam berbagai teknik pembelajaran seperti: bahtsiyyah, diskursif, istiqra’i, tahliliyyah, maupun yang lainnya.
Teknik-teknik tersebut dipandang dapat mendudukkan subyek pendidikan (guru-murid) lebih manusiawi (“humanior”). Guru dan murid berangkat bersama dari sumber (kurikulum) yang realis dan humanis yang dipahami bersama secara analitis dan filosofis dengan memaksimalkan fungsi dan peran akal dengan menggunakan korespondensi (hubungan akal dan alam), koherensi, dan pragmatik sebagai tolak ukur validitas keilmuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman an-Nahlawi, (1995), Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press
Claude Lévi-Strauss, (1972), “The Structural Study of Myth” dalam Structural Antrhopology. Terj. Claire Jacobson dan Brooke Grundfest Schoepf, Harmondsworth: Penguin Books
Edith Kurzweil, (2004), Jaring-jaring Kuasa Strukturalisme: Dari Lévi-Strauss sampai Foucoult, terj. Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Faisal Ismail, (1998), Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis, Yogyakarta:Tiara Ilahi Press
Fasli Jalal, (2001), Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita
Gilbert G. Hardy, Language, Myth, and Man in Lévi-Strauss’ Social Anthropology: A Critique
Hujair AH. Sanaky, (1999), “Studi Pemikiran Pendidikan Islam Modern”, Jurnal Pendidikan Islam, Konsep dan Implementasi, Volume V Th IV, ISSN: 0853 – 7437, FIAI UII, Yogyakarta
John Lechte, (2001), 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Terj. A. Gunawan Admiranto, Yogyakarta: Kanisius
Mansour Fakih, (1996), Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, (1993), Bunyah al-‘Aql al-“arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-‘Arabiyyah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi
Oemar Hamalik, (2001), Kurikulum Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara
Onno W. Purbo, Tantangan Bagi Pendidikan Indonesia, dalam: http://www.detik. com/net/onno/jurnal/2004/aplikasi/pendidikan/p-19.shtml. diakses 2 Januari 2007
Paulo Freire, (1991), Pendidikan Kaum Tertindas, cet. III, Jakarta: LP3ES
Qodri A. Azizy, (2003), Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu
Robert L Zimmerman, The Metaphysics Claude Lévi-Strauss’ Structuralism: Two Views, h. 122
Saudi Putro, (1998), Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina
Suroyo, (1991), Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam: Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Yogyakarta: Tiara Wacana
Winarno Surakhmad, Profesionalisme Dunia Pendidikan, dalam: http://www. Bpk penabur.or.id/ kps-jkt/berita/200006/artikel2.htm, diakses 2 Januari 2007
Zamroni, (2000), Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Bigraf Publishing