KOMUNIKASI PEMBELAJARAN DAN KESADARAN KRITIS
Tulisan sederhana ini berupaya menyajikan dua teori, yaitu teori komunikasi yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran dan teori pembangkitan kesadaran kritis.
1. Komunikasi Pembelajaran
Istilah komunikasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin, yaitu communicatio, yang berati pemberitahuan, pemberian bagian (dalam sesuatu), pertukaran dimana si pembicara mengharapkan pertimbangan atau jawaban dari pendengarnya, dan ikut mengambil bagian. Akar katanya adalah communis, tetapi bukan komunis dalam kegiatan politik. Communis itu sendiri berarti sama, dalam arti sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal, Jadi, komunikasi akan berlangsung jika antara orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Kesamaan makna diperlukan dalam komunikasi ini agar proses komunikasi itu dapat berlangsung, sehingga hubungan mereka bersifat komunikatif. Secara terminologis komunikasi memiliki multimakna. Stappers berhasil membuat enam kategori dari multimakna definisi komunikasi meliputi aktivitas dari suatu pihak, aktivitas datang dari pihak lain (mempengaruhi), hubungan adalah central, hasil adalah yang utama, transmisi informasi, dan penggunaan lambang. Sedangkan Fisher membuat lima kategori meliputi definisi yang: memusatkan perhatian pada penyampaian, menempatkan komunikasi sebagai kontrol sosial, komunikasi sebagai fenomena stimuli respon, menekankan pada unsur kesamaan arti, dan melihat komunikasi sebagai integrator sosial. Perbedaan-perbedaan itu timbul akibat perbedaan perspektif/teori dalam mendefinisikan komunikasi. Namun dari berbagai kategori komunikasi dapat diartikan sebagai proses penyampaian suatu pernyataan, ide, ataupun informasi oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan simbol untuk menghasilkan sesuatu.
Ada beberapa teori yang—oleh Fisher disebut dengan perspektif—berkenaan dengan komunikasi. Dalam hal ini, Fisher merangkum kajian komunikasi selama ini ke dalam empat perspektif yang penting, yaitu perspektif mekanistiks, perspektif psikologis, perspektif interaksional, dan perspektif pragmatis. Perspektif mekanistis berkembang sebagai pengaruh fisika. Perspektif ini mengkonseptualiasikan komunikasi sebagai proses yang mekanistis antara manusia. Maka dalam komunikasi terdapat sesuatu (pesan) mengalir melintasi ruang dan waktu dari satu titik (komunikator/komunikan) kepada titik yang lain (komunikator/komunikan) secara simultan. Titik berat kajian perspektif ini terletak pada efek. Hal ini tercermin dalam kajian mengenai persuasi, efek media masa, difusi (komunikasi pembangunan) dan jaringan komunikasi. Metodologi penelitiannya menggunakan metode eksperimental dan kuantitatif.
Dalam perspektif psikologis, komunikasi dikonspesikan sebagai proses dan mekanisme internal penerimaan dan pengolahan informasi pada diri manusia. Perspektif ini berkembang karena pengaruh psikologi sosial. Akibat dari pengaruh ini, maka titik berat kajiannya terletak pada diri manusia, yaitu pada “kepala” individu yang dinamakan filter konseptual (seperti sikap, persepsi, keyakinan, dan keinginan). Hal ini terlihat pada berbagai studi mengenai persuasi dan perubahan sikap, komunikasi organisasional, dan komunikasi kelompok. Metodologi penelitian yang digunakan pada umumnya metode eksperimental dan kuantitatif. Dalam perspektif ini pula Newcomb memperkenalkan model ABX. Model ini menggambarkan bahwa jika seorang komunikator (A) menyampaikan kepada orang lain/komunikan (B) tentang sesuatu (X), maka dalam proses itu terdapat empat orientasi, yaitu orientasi A terhadap X, orientasi A terhadap B, orientasi B terhadap X, dan orientasi B terhadap A.
Dalam perspektif interaksional, komunikasi dikonseptualisasikan sebagai interaksi manusia pada masing-masing individu. Titik berat kajiannya berada pada pengambilan peran individu atau tindakan khususnya tindakan sosial atau tindakan bersama. Pada waktu individu berperilaku dalam tindakan sosial, ia mengembangkan definisi tentang diri. Perspektif ini biasa disebut sebagai komunikasi dialogis. Metodologi penelitiannya lebih condong pada fenomenologis, analisis kontekstual dengan menggunakan data kualitatif.
Sedangkan dalam perspektif pragmatis, komunikasi dikonseptualisasikan sebagai sistem prilaku. Eksistensi empirisnya (lokusnya) berada pada perilaku yang berurutan, sehingga komponennya meliputi pola, interaksi, sistem, struktur, dan fungsi. Titik berat atau fokus pengkajian dan penelitian adalah pada perilaku interaktif. Hal ini terlihat dalam studi mengenai kategori perilaku, sistem komunikasi, fase-fase perkembangan kelompok, dan lain-lain. Justru itu penelitian dalam model pragmatis ini hanya mungkin dengan menggunakan analisa kualitatif dan satu saat dengan analisis interaktif.
Dari empat perspektif komunikasi di atas, penelitian ini menggunakan perspektif interaksional sebagai payung teorinya untuk melihat komunikasi pembelajaran. Komunikasi pembelajaran adalah komunikasi yang berlangsung selama proses pembelajaran berlangsung. Dalam komunikasi pembelajaran, pendidik (komunikator) dan peserta didik (komunikan) sama-sama melakukan interaksi psikologis yang nantinya diharapkan bisa berdampak pada berubahnya pengetahuan, sikap, dan keterampilan di pihak komunikan sebagai hasil pembelajaran. Dalam situasi formal, proses ini terjadi ketika komunikator berusa membantu terjadinya proses perubahan tadi, atau proses belajar di pihak komunikan. Teknik atau alat untuk melaksanakan proses ini adalah komunikasi, yaitu komunikasi pembelajaran yang berlangsung secara dialogis.
Selama komunikasi pembelajaran berlangsung, juga terjadi proses saling menafsirkan informasi oleh pendidik dan peserta didik atas informasi yang disampaikan oleh pendidik (komunikator). Saling berbagi dan memberi yang sekaligus juga saling memberi informasi dari masing-masing pihak berlangsung terus, tidak berhenti hanya pada apa yang diucapkan. Artinya, selama ini ini pula terjadi proses komunikasi antarpersonal (antara pendidik dan peserta didik) sekaligus intrapersonal berupa kegiatan menafsirkan informasi oleh masing-masing pihak. Mereka berpikir, berkomunikasi sesuai dengan pola struktur komunikasi antarpersonal dan intrapersonalnya. Pada akhirnya proses ini akan membentuk efek baru dari masing-masing pihak. Hal ini berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama sehingga terjadilah perubahan yang terus menerus dan relatif bersifat menetap pada bidang pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
2. Pendidikan dan Kesadaran Kritis
Dalam pandangan umum pendidikan adalah sarana manusia memperoleh ilmu pengetahuan. Tujuan akhirnya adalah agar terbebas dari segala macam bentuk kebodohan sehingga manusia memiliki martabat kehidupan yang manusiawi. Karenanya dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebuah proses membawa seseorang keluar dari dirinya sendiri untuk mendapatkan jati diri, terlebih jati diri kemanusiaan, karena hakekat pendidikan itu sendiri adalah upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Atau dalam Freirean disebut sebagai conscientizacao (bahasa Portugal) yang didefinisikan sebagai proses perkembangan seorang individu yang berubah dari kesadaran magis menuju kesadaran naif dan akhirnya sampai pada kesadaran kritis. Di sini sebuah proses pendidikan berfungsi menyadarkan peserta didiknya dan membangkitkan kesadaran kritisnya untuk tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan sebaliknya menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada.
Conscientizacao merupakan caunter point yang dilakukan oleh Paulo Freire terhadap praktek pendidikan yang disebutnya dengan banking system. Pendidikan gaya bank menurutnya, menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana para murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas menerima, mencatat, dan menyimpan. Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan gaya bank itu sebagai berikut:
No. Pendidik Peserta didik
1. Mengajar Diajar
2. Tahu segalanya Tidak tahu apa-apa
3. Berfikir Difikirkan
4. Bicara Mendengarkan
5. Mengatur Diatur
6. Memilih dan memberikan pilihan Menuruti
7. Berbuat Mengikuti dan meniru tindakan sang
8. Memilih apa yang akan diajarkan Menyesuaikan diri
9. “Subjek” proses belajar “Objek” pembelajaran
Berdasarkan kritikannya terhadap “banking system” tersebut, Freire mengajukan konsep tandingan yang disebutnya “pedagogy of liberation”, yakni proses pendidikan ‘hadap masalah’ (problem posing of education) yang menjawab hakikat kesadaran. Proses yang terjadi dalam pendidikan hadap masalah ini adalah proses dialog antara pendidik dan peserta didik. Suatu proses pendidikan yang mampu mendorong proses pemahaman peserta didik atas realita yang sesungguhnya terjadi, karena pendidikan yang membebaskan adalah berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition), bukannya pengalihan-pengalihan informasi. Ia merupakan sebuah situasi belajar dimana objek yang dapat dipahami menghubungkan para pelaku pemahaman - pendidik di satu sisi dan peserta didik di sisi lainnya. Pendidik dan peserta didik bersama-sama melakukan – tindakan dan refleksi – atas dunia untuk dapat mengubahnya. Pendidikan adalah proses pembebasan dan memproduksi kesadaran kritis manusia (humanisme; memanusiakan-manusia). Disinilah sesungguhnya letak praksis pembebasan dan pendidikan kritis yang digagas dalam metode pendidikan Freire itu.
Dalam membahas kesadaran manusia, Freire membagi menjadi tiga tingkatan yaitu kesadaran magis (magical consciousness), naif (naival consciousness), dan kritis (critical consciousness). Menurutnya, ketiga kesadaran itu mempunyai implikasi terhadap paradigma (koservatif, liberal, kritis) dan pendekatan pendidikan (pedagogi, andragogi, dan dialogis).
Kesadaran magis yaitu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan anatara satau faktor dengan faktor yang lain, dan lebih melihat kepada faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab ketidakberdayaan masyarakat. Kesadaran magis memiliki ciri sikap bungkam; tanggapan yang singkat atas pertanyaan yang kompleks; hubungan sebab akibat yang sederhana; dan tidak ada kesalahannya. Kesadaran ini dimiliki oleh masyarakat primitif yang meyakini segalanya telah diatur, hingga takluk pada keadaan. Selain itu mereka lebih terkonsentrasi pada pemenuhan biologis. Sehingga apapun yang terjadi itu sudah merupakan ketentuan sejarah, bahkan takdir tuhan.
Kesadaran magis melahirkan paradigma pendidikan konservatif. Penyelenggaraan sekolah atau madrasah dalam perspektif dan paradigma konservatif memang terisolasi dari persoalan persoalan kelas maupun gender ataupun persoalan ketidak adilan di masyarakat. Kurikulum sekolah secara jelas bagi kaum konservatif juga tidak ada kaitannya dengan sistem dan struktur sosial diluar sekolah, seperti sistem kapitalisme yang tidak adil. Pendekatan yang diterapkan adalah “banking system”. Proses belajar mengajar di sini menggunakan pendekatan pedagogi. Pendekatan ini tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah yang dalam perspektif Freirean disebut sebagai pendidikan fatalistik. Proses pendidikan lebih merupakan proses menirukan, dimana murid mengikuti secara buta perkataan dan pendangan guru. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistim dan struktur terhadap satu permasalahan masyarakat. Murid secara dogmatik menerima 'kebenaran' dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami 'makna' ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Kesadaran naif lebih melihat pada ‘aspek manusia’ yang menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achievement' dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena 'salah' masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya 'membangunan', dan seterusnya. Ciri dari kesadaran ini adalah bahwa kaum tertindas sudah ada keinginan untuk melawan, memberontak dan memperbaiki nasib. Namun, terlalu banyak rintangan. Hingga yang terjadi adalah lari dari kenyataan dan menyalahkan diri sendiri. Dalam hal ini terjadi perlawanan yang tersumbat, baik oleh eksternal maupun internal pelaku.
Kesadaran naif melahirkan paradigma pendidikan liberal. Pendidikan menururt faham ini, bahwa faktor politik dan ekonomi tidak ada kaitannya sama sekali dengan keberadaan masyarakat. Namun demikian ‘pendidikan’ harus mengadakan penyesuaian dengan bidang ekonomi dan politik. Bagi kaum liberal pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luar berfungsi secara baik. Akar dari pendidikan semacam dapat ditelusuri dari pijakan filosofisnya yakni, paham liberalisme, suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta proses perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Kalaupun terjadi distorsi maka yang perlu diperbaiki adalah individu yang menjadi bagian dari sistem dan bukan sistem. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal seperti ini berakar pada cita-cita Barat tentang individualisme. Proses belajar mengajar dilakukan dengan pendekatan andragogi. Pendekatan seperti ini melahirkan cara berfikir liberal dan mengikuti ‘life style’ di mana jaman berada. Proses belajar mengajar dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor 'given'; dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Proses belajar mengajar dilaksanakan untuk membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
Kesadaran kritis adalah ketika seorang manusia mampu bersikap ilmiah dalam menatap realitas. Dalam kesadaran kritis ditandai dengan penafsiran mendalam atas berbagai masalah; digantikannya penjelasan magis dengan kausalitas; …dengan menolak sikap pasif; dengan mengemukakan pendapat; dengan mengedepankan dialog daripada polemik; dengan menerima pandangan baru tetapi bukan sekedar karena sifat kebaruannya dan dengan keinginan untuk tidak menolak pandangan kuno hanya karena sifat kekunoannya—yakni dengan menerima apa yang benar menurut pandangan kuno dan baru.
Kesadaran kritis melahirkan paradigma pendidikan kritis. Penganut paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Dalam kesadaran kritis pendidikan lebih diarahkan pada aspek sistem dan struktur sebagai sistem masalah yang membelenggu kesadaran akan “sejarah dan eksistensi” manusia. Tugas pendidikan adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Karenanya urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Pendekatan yang digunakan adalah dialogis. Dialektika menuju proses kesadaran. Pendekatan ini tentu mempunyai beberapa syarat. Baik guru maupun peserta didik mesti berada dalam posisi yang egaliter dan tidak saling mensubordinasi. Masing-masing pihak, mesti berangkat dari pemahaman bahwa masing-masing mempunyai pengalaman dan pengetahuan. Sehingga yang perlu dilakukan adalah dialog, saling menawarkan apa yang mereka mengerti dan bukan menghafal, menumpuk pengetahuan namun terasing dari realitas sosial.
Lebih jauh lagi, pemakanaan ‘dialogis’ menurut Freire, adalah sesuatu gejala yang manusiawi, dan hakikat dialog itu sendiri adalah kata. Di dalam ‘kata’ itu kita menemukan dua dimensi ‘ refleksi dan tindakan’ dalam suatu interaksi yang sangat mendasar dan itulah yang dinamakan “praksis”. (“Tindakan – Refleksi”) = kata = karya = parksis. Pengorbanan tindakan = Verbalisme, dan Pengorbanan refleksi = aktivisme. Sehingga mengucapakan kata sejati adalah sebuah tindakan mengubah dunia. Analisis yang yang digunakan Freire ini, sesungguhnya adalah berusaha mengajak kita semua untuk melakukan transformasi kritis menuju proses penyadaran dan pembebasan manusia seutuhnya.