ABU ĤUZAIL AL-ALLAF
(Menyibak Pemikiran Rasionalisasi Tuhan)
Oleh: Ali Murtadlo MS.
A. Pendahuluan
Muktazilah merupakan salah satu aliran teologi Islam. Kaum Mu’tazilah dikenal juga dengan sebutan kaum rasionalis Islam, karena pandangan-pandangan teologisnya lebih banyak diilhami oleh dalil-dalil akal dan bersifat filosofis, lebih-lebih dalam membahas persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh kaum Khowarij dan Murji’ah tentang dosa besar. Aliran ini telah memainkan peranan penting dalam panggung sejarah baik dalam bidang teologi maupun dalam politik Islam.
Paling tidak terdapat dua versi yang menerangkan munculnya aliran Mu’tazilah. Versi pertama mengatakan bahwa Mu’tazilah telah muncul pada pertengahan abad pertama Hijrah. Istilah Mu’tazilah dipergunakan untuk para sahabat (antara lain Sa’ad bin Abi Waqash, Su’aib bin Sinan, Abdullah bin Umar, dan Zaid bin Tsabit) yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa politik yang terjadi setelah Usman bin Affan terbunuh. Peristiwa dimaksud adalah pertentangan yang terjadi antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair, dengan Ali bin Abi Thalib sehingga terjadi perang Jamal. Juga perselisihan antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib sehingga terjadi perang Siffin. Versi kedua mengatakan bahwa Mu’tazilah itu lahir pada permulaan abad kedua Hijrah, tepatnya sewaktu pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (101—125H) dari Bani Umayyah. Saat itu ada orang yang bertanya pada forum diskusi Hasan al-Basri mengenai pelaku dosa besar. Ketika Hasan al-Basri merenungkan jawabannya, Wāŝil bin Atho’ mengeluarkan pendapatnya dengan mengatakan pelaku dosa besar itu bukan mukmin dan bukan kafir; kemudian ia meninggalkan (i'tazala) forum tersebut. Dari sini Wāŝil bin Atho’ memunculkan ajaran al-manzilaţ bayna al-manzilatayn, posisi diantara dua posisi, bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir.
Dalam perkembangan dan pertumbuhannya, tokoh-tokoh pendiri Mu’tazilah sepakat bahwa ajaran penting Mu’tazilah—pada prinsipnya—meliputi lima ajaran yang terkenal dengan uşū¬l al-ċomsah meliputi tawĥīd, al-‘adl, al-wa’d wa al-wa’īd, al-manzilaţ bayna al-manzilatayn, al-amr bi al-ma’rūf wa al-nahy ‘an al-munkar. Ajaran-ajaran dan hasil-hasil pemikiran teologis mereka kadang-kadang mempunyai perbedaan antara satu tokoh dengan tokoh yang lainnya, seperti Wāŝil dalam mengartikan “Keesaan Tuhan” berbeda dengan penafsiran dari Ĥuzail al-Allaf atau Bisyri ibn al-Muktamir yang mengaku sebagai pengikut Amr bin Ubaid, tetapi tokoh lainnya lebih senang pada Wāŝil bin Atho’. Tetapi justruk karena perbedaan itulah yang menyebabkan lajunya pembahasan doktrin mereka sehingga Mu’tazilah terus tumbuh dan berkembang.
Diawali dari sinilah Mu’tazilah mulai berada dalam pertumbuhan. Pada masa-masa selanjutnya merupakan periode penyempurnaan atau fase kejayaan dengan dipelopori Abu Ĥuzail al-Allaf, Ibrahim bin Sayyar al-Nazzam, Mu’ammar bin ‘Abd Salamy, dan al-Juba’i. Mereka adalah pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh Mu’tazilah yang mempunyai andil yang sangat besar dalam mengembangkan Mu’tazilah yang selalu berkaitan dengan Filsafat Yunani. Maka tidak mengherankan kalau dalam pemikiran teologi mereka banyak dipengaruhi oleh daya akal atau rasio dan teologi mereka mempunyai corak rasional.
Mu’tazilah mendapatkan puncak kejayaan pada masa khalifah al-Makmun (198—218 H). Kedudukan Mu’tazilah menjadi semakin kokoh setelah al-Makmun (198—218 H) menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Kejayaan ini tidak lepas dari peran besar Abu Ĥuzail al-Allaf sebagai tokoh yang amat gencar dalam usahanya mengembangkan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah.
Abu Ĥuzail, nama lengkapnya adalah Ĥamdan bin al-Ĥuzail al-Allaf. Dijuluki al-Allaf karena di kampung tempat kelahirannya, Basrah, terdapat banyak penjual makanan ternak. Ia adalah pemikir Islam yang mengedepankan rasionalitas, tanpa meninggalkan Al-Qur'an dan al-Hadis. Ia juga seorang guru besar pemimpin dan pendiri Mu’tazilah di Basrah; ia menjadi pemimpin kedua Mu’tazilah setelah Wāŝil bin Atho’.
Teologi rasional Mu'tazilah memang muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf. Pengetahuannya tentang Mu’tazilah diperolehnya dari Uşman al-Thowil, seorang teman Wāŝil. Ĥuzail dilahirkan pada tahun 135H dan wafat tahun 235 H. Pengetahuannya tentang melapangkan jalannya untuk menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara terartur. Pengetahuannya tentang logika membuat ia menjadi pendebat mahir dalam melawan golongan Majusi, Manicheist, atheist dan sebagainya.
Terdapat banyak pemikiran Ĥuzail, diantaranya adalah tentang sifat Allah, akal manusia, al-ŝolâh wa aŝlâh, kalâm Allâh, dan ukhrawiyat. Di bawah ini diuraikan pokok-pokok pikiran tersebut. Tulisan pendek ini selanjutnya ditutup dengan refleksi pemikiran Abu Ĥuzail dalam bidang pendidikan (Islam) dewasa ini.
B. Pokok-pokok Pikiran Abu Ĥuzail
1. Sifat Allah
Ajaran Mu’tazilah pada butir pertama adalah pengakuan terhadap keesaan Allah (tawhid Allah). Pengertian ini mempunyai arti yang lebih jauh dari sekedar pengakuan bahwa Tuhan satu dan tidak ada banyak Tuhan. Mereka menolak konsep Tuhan mempunyai sembilan puluh sembilan al-asma’ al-ĥusna sebagaimana yang biasa dipahami oleh orang Islam pada umumnya.
Kaum Mu’tazilah sepakat bahwa Tuhan itu tidak memiliki sifat yang berdiri sendiri sebagai sebuah substansi. Demikian pula Abu al-Ĥuzail, Nazzam, Mua’mmar, Juba’i. Mereka semua menafikan sifat Tuhan, dalam arti bahwa sifat itu berdiri sendiri. Kendatipun demikian, mereka memiliki penekanan sendiri-sendiri dalam persoalan ini. Mereka menyatakan bahwa sifat Tuhan itu melekat pada diri Tuhan. Sifat Tuhan adalah esensi Tuhan. Sebagai contoh, Tuhan memiliki sifat esa. Keesaan Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah berarti bahwa sifat itu tidak memiliki bentuk yang berdiri sendiri di luar Tuhan, tetapi menyatu dalam keberadaan keesaan Tuhan itu sendiri.
Abu al-Ĥuzail al-Allaf membahas persoalan ini lebih jauh dan mendalam. Walaupun hal ini sudah pernah diketengahkan oleh Wāŝil bin Atho’. Wāŝil mengatakan bahwa Tuhan tidak mungkin diberikan sifat (nafy al-sifat). Yang dimaksud dengan nafy al-sifat di sini adalah sifay yang berdiri sendiri yang kemudian melekat pada zat Tuhan karena hal itu akan membawa kepada adanya polytheisme.
Karena itu, untuk memelihara kemahaesaan Tuhan, Tuhan tidak boleh dikatakan memiliki sifat dimana sifat itu adalah substansi yang berdiri sendiri di luar Tuhan. Berkenaan dengan Tuhan menyebut diri-Nya “memiliki sifat”, sebagaimana yang disebut dalam Al-Qur'an, Abu Ĥuzail dalam hal ini, mencoba membawa penyelesaian dengan menyesuaikan isi wahyu tersebut dengan logika. Tuhan tidak mempunyai sifat atau dengan kata lain tidak ada sifat Tuhan itu berada di sisi zat-Nya. Sifat itu adalah zat-Nya atau esensinya. Ĥuzail menyatakan, Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya; dan pengetahuan-Nya ini adalah esensi-Nya atau zat-Nya. Mengetahui itu bukan sifat-Nya (yang berdiri sendiri). Demikian juga dengan sifat kuasa. Tuhan berkuasa melalui kekuasaan-Nya; dan kekuasaan-Nya itu adalah esensi-Nya. Demikian seterusnya dengan sifat-sifat lainnya seperti mendengar, melihat, dahulu, maha besar, dan sebagainya. Sifat-sifat itu adalah esensi Tuhan.
Abu Ĥuzail dalam membahas sifat-sifat Allah seperti hidup, ilmu, kuasa, dan sebagainya mempunyai kedudukan sama sebagaimana dikatakan Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal-nya bahwa makna Allah mengetahui sama artinya dengan arti Allah Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa dan seterusnya. Pernyataan ini mengandung arti bahwa sifat tersebut tidak mempunyai arti beda, yang ada hanyalah esensi Tuhan itu sendiri. Jadi pengertian esa dalam diri Allah adalah Tuhan tidak tersusun dari lapisan zat dan lapisan sifat apapun.
Penjelasan Abu Ĥuzail tentang sifat ini dimaksudkan untuk menghindari adanya “yang qadīm” selain Allah. Karena apabila dikatakan ada sifat dalam diri Allah, sesuatu yang melekat di luar esensi Tuhan, berarti sifat-Nya itu qadim, yang akan membawa arti adanya qadim lebih dari satu padahal tiada yang qadim selain Allah dan paham banyak qadim membawa kepadanya syirik dan syirik dalam Islam merupakan dosa terbesar yang tidak diampuni Allah. Dan lewat jawaban tersebut terlihat bahwa Abu Ĥuzail mempunyai pengetahuan yang luas tentang filsafat dan mahir dalam logika sehingga memudahkan ia dapat diterima dalam menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara teratur. Pemikiran Abu Ĥuzail juga tampak lebih mampu menjawab dan menjelaskan tentang nafy al-sifat yang dimaksud oleh Wāŝil bin Atho’ (kaum Mu’tazilah) dalam mengatasi persoalan dari pandangan adanya Tuhan lebih dari satu bila Tuhan memiliki sifat sebagai substansi yang berdiri sendiri di luar zat Tuhan.
2. Akal Manusia
Membicarakan berbagai teologi Islam tidak terlepas dari membicarakan mengenai kekuasaan/kemampuan akal dan fungsi wahyu untuk mengetahui Tuhan dan mengetahui perbuatan baik dan jahat. Dalam hal mengetahui Tuhan, terbagi menjadi dua hal yaitu mengetahui Tuhan (حس المعرفة الله) dan kewajiban mengetahui Tuhan (وجود معرفة الله). Demikian juga dalam hal mengetahui perbuatan baik, terbagi menjadi dua hal yaitu mengetahui baik dan jahat (معرفة الحسن و القبح), dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi berbuat jahat (وجوب اعتناق الحسن و اجتناب القبيح).
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul berkaitan dengan keempat hal di atas adalah bidang mana sajakah yang dapat diperoleh manusia melalui akal, dan bidang mana sajakah yang dapat diperoleh manusia melalui wahyu. Di sinilah terjadinya polemik antar-teologi Islam. Masing-masing aliran, melalui pemikiran para tokohnya, memberikan jawaban yang berbeda-beda.
Menurut pandangan Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui akal. Demikian pula kewajiban-kewajiban itu dapat diketahui oleh manusia dengan pemikiran yang mendalam. Karena itu, manusia dengan akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan meskipun wahyu belum turun. Sebagai konsekuensinya berterima kasih kepada Tuhan menjadi suatu keharusan, yang juga dapat diketahui melalui akal. Akal juga dapat mengetahui perbuatan baik dan jahat. Karena itu, meskipun belum/tidak ada wahyu, dengan akalnya manusia wajib mengerjakan perbuatan baik sekaligus menjauhi perbuatan jahat.
Abu Ĥuzail dalam kaitannya dengan peran akal ini dengan tegas menyatakan bahwa sebelum turunnya wahyu, manusia telah berkewajiban mengetahui Tuhan. Karena itu, apabila manusia mengabaikan untuk mengetahui Tuhan, ia pantas diberi hukuman. Demikian pula manusia wajib mengerjakan perbuatan dan pekerjaan yang baik seperti bersikap adil, berkata benar, dan sebagainya. Sebaliknya manusia wajib menjauhi perbuatan yang tidak benar atau tidak baik seperti bersikap zalim. Alasan yang dikemukakan oleh Abu Ĥuzail karena baik dan jahat telah dapat diketahui manusia dengan perantaraan akal.
Kemampuan akal manusia yang demikian itu sudah barang tentu didahului dengan mengetahui hakekat hal itu sendiri. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat, manusia harus terlebih dahulu mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum mengetahui hal-hal itu, manusia tentu saja manusia tidak dapat menentukan sikap terhadapnya.
Pemikiran Abu Ĥuzail (khususnya dan Mu’tazilah umumnya) yang demikian ini menyebabkan mereka mendapatkan kritik. Lawan-lawan mereka menganggap bahwa orang Mu’tazilah memandang tidak perlu adanya wahyu bagi manusia. Akal manusia cukup kuat untuk mengetahui segala-galanya. Kalau ada pertentangan antara akal dan wahyu, maka pendapat akallah yang dipegang dan wahyu dikesampingkan. Kaum Mu’tazilah tidak percaya kepada wahyu.
Kritik-kritik demikian ternyata tidak seperti yang diajarkan oleh para tokoh Mu’tazilah. Ibn Abi Hasyim misalnya, menjelaskan bahwa ibadah diketahui bukan melalui akal tetapi melalui wahyu. Nabi yang menjelaskan ibadah itu, dan apapun yang dibawa Nabi pasti benar. Memang betul akal dapat mengetahui bahwa nanti akan ada hari perhitungan. Namun akal tidak dapat mengetahui perincian imbalan atau hukuman yang akan diterima manusia di akhirat nanti. Perincian itu hanya dapat diketahui melalui wahyu. Karena itu, posisi Nabi dalam pandangan Mu’tazilah adalah datang untuk memperkuat (تقرير) apa yang telah diketahui oleh akal.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dapat diketahui bahwa akal dalam pemikiran Abu Ĥuzail dan tokoh-tokoh Mu’tazilah yang lain menandaskan bahwa akal bukanlah segala-galanya. Akal sebagai alat untuk mengetahui Tuhan dan perbuatan baik dan jahat hanya dalam tataran garis besarnya. Karena itu akal masih tetap memerlukan wahyu untuk mengetahui secara detailnya. Disamping itu keterangan-keterangan di atas juga memberikan kesan bahwa pemikiran Abu Ĥuzail sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang mengagungkan kekuatan akal, sehingga dengan perantaraan akalnya manusia dapat mengetahui adanya Tuhan dan dapat membedakan perbuatan-perbuatan baik dan buruk tanpa adanya wahyu dari Tuhan.
3. Al-Ŝolâh wa Aŝlâh
Ajaran dasar kedua dari Mu’tazilah adalah ‘adl dengan pengertian semua perbuatan Tuhan itu baik. Tuhan tidak mungkin berbuat yang tidak baik. Tuhan tidak berdusta, tidak bersikap aniaya, tidak menyiksa anak-anak orang musyrik lantaran dosa orang tua mereka.
Abu Ĥuzail dalam hal ini berpendapat bahwa Tuhan Maha Sempurna. Karena kemahasempurnaan-Nya, Tuhan tidak akan berbuat yang tidak baik. Perbuatan-perbuatan Tuhan sebagai yang Maha Sempurna semuanya wajib berupa baik dan terbaik untuk kepentingan manusia. Dari sinilah timbul paham al-sholah wa ashlah. Tuhan mustahil untuk berbuat yang tidak baik, walaupun hal itu bisa dilakukan-Nya karena itu menurut Abu Ĥuzail, apabila Tuhan berbuat tidak baik atau tidak berbuat baik, hal tersebut bertentangan dengan Kemaha-Adil-an dan mengurangi kesempurnaan Allah sebagai Tuhan. Ia adalah Zat yang Maha Sempurna dan Maha Adil. Yang Maha Sempurna dan Maha Adil tentu tidak akan berbuat yang tidak baik, karena berbuat tidak baik itu hanya dilakukan oleh orang yang mempunyai cacad dan berhajat; atau oleh orang yang tidak mempunyai pengetahuan. Tidak mempunyai pengetahuan dan berhajat adalah sifat bagi yang tidak kekal. Tuhan tidak mungkin memiliki sifat-sifat yang demikian.
Karena Tuhan Maha Sempurna, Maha Adil, maka Tuhan tidak mungkin mengeluarkan orang yang telah menjadi ahli surga dari surga dan memasukkannya ke neraka. Tuhan juga tidak mungkin mengurangi atau menambah sedikitpun kebahagiaan orang yang telah menjadi ahli surga dan mengurangi atau menambah kesengsaraan orang-orang ahli neraka. Bila Tuhan melakukan itu, berarti Dia tidak Maha Sempurna dan tidak Maha Adil. Karenanya Tuhan wajib berbuat adil (baik) dan terbaik bagi manusia.
Berdasarkan paham al-sholah wa ashlah ini, Mu’tazilah memunculkan pengertian wajib dalam arti, pertama, wajib syar’i yaitu kewajiban yang ditentukan oleh wahyu seperti kewajiban solat dan ibadah lainya. Kedua, wajib ‘aqli yaitu kewajiban yang disimpulkan oleh pemikiran rasional. Contoh wajib bagi Tuhan untuk berbuat adil dan baik. Jadi dari terma kedua inilah yang mereka gunakan Mu’tazilah dalam mewajibkan Tuhan untuk berbuat baik dan terbaik, al-sholah wa ashlah.
4. Kalâm Allâh
Al-Qur'an yang dalam istilah teologi disebut kalam Allah atau sabda Tuhan, dimunculkan pada suatu titik waktu tertentu, yaitu ketika diwahyukan kepada Muhammad. Abu Ĥuzail dan tokoh-tokoh Mu’tazilah yang lain berpendapat bahwa kalam Allah, bukan qadim atau kekal, melainkan hadis dalam arti baru dan diciptakan Tuhan. Lebih lanjut al-Nazzam memberikan keterangan tentang kalam. Menurutnya, kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Suara bersifat baru, bukan bersifat kekal, dan diciptakan Tuhan. Inilah yang dimaksud dengan Mu’tazilah percaya bahwa Al-Qur'an diciptakan, makhluk, dan bukan kekal.
Abu Ĥuzail sendiri dalam persoalan ini juga mengatakan bahwa yang disebut kalam atau sabda Tuhan tersusun dari huruf dan suara. Tuhan disebut mutakallim yang berarti menciptakan kalam. Mutakallim tidak mengandung arti sesuatu yang berbicara, tetapi diartikan yang membuat kalam. Karena itu Al-Qur'an adalah makhluk (diciptakan) dan accident, bukan termasuk substansi dengan penjelasannya yang lebih detail. Al-Qur'an muncul dalam satu titik waktu tertentu, yaitu ketika dibaca ia berada bersama dengan pembacanya, ditulis ia dengan penulisnya dan ketika ia dijaga atau dibawa ia bersama dengan penjaganya. Inilah yang dimaksud dengan menempati beberapa tempat. Dan Al-Qur'an menurut Abu Ĥuzail ini tidak mungkin berpindah maupun hilang, dalam arti selalu menempati ruang dan waktu.
5. Ukhrawiyat
Abu Ĥuzail mengatakan bahwa keadaan ahl al-akhiroh dalam suatu keharusan, dhorurah, baik dalam hal makanan, minuman, maupun bergerak dan berbicara. Mereka, ahli akhirat, tidak bisa bebas bergerak. Syahrastani mengomentari Abu Ĥuzail bahwa orang-orang surga dan orang-orang neraka, besok di akhirat dalam keadaan terpaksa, tidak memiliki usaha atau kasab sedikitpun. Sedangkan usaha atau ikhtiyar hanya diberikan ketika manusia berada di dunia sehingga ia terkena taklif (beban hukum). Kalau memang manusia kelak di akhirat ia menjadi terpaksa, tidak mempunyai kebebasan bergerak, tentu saja manusia tidak terkena beban hukum di akhirat, manusia tidak boleh disiksa karena kesalahannya atau kealpaannya dan tidak akan diberi pahala karena perbuatan baiknya di akhirat. Akhirat adalah tempat pembalasan, baik siksa maupun pahala, yang ia usahakan di dunia. Akhirat bukan ladang untuk berusaha atau berikhtiar. Jadi manusia hendaklah bebas berusaha atau berikhtiar selama masih di dunia. Sedangkan di kala di akhirat, manusia menjadi mujbir (terpaksa).
Gerak-gerik ahli surga dan ahli neraka, menurut Abu Ĥuzail, akan berakhir dan menjadi ketenangan atau ketidak-tenangan yang abadi, di mana mereka tidak akan bisa lagi menggerakkan dirinya dan tidak bisa meninggalkan tempatnya. Dalam ketenangan atau ketidak-tenangan itulah terkumpul semua kelezatan bagi ahli surga dan terkumpul semua kepedihan bagi ahli neraka. Dengan segala kelezatan dan kepedihan itu mereka tetap tidak bergerak untuk selama-lamanya (kekal) seperti benda mati.
Abu Ĥuzail, sebagai tokoh-tokoh Mu’tazilah yang lain, menyatakan bahwa yang kekal dari diri manusia adalah jiwanya. Adapun tubuhnya, ia akan hancul kembali menjadi tanah. Badan/tubuh tidak akan hidup kembali. Di akhirat yang akan menghadapi perhitungan kelak, sebagai akibat perbuatan di dunia, adalah jiwa manusia. Maka surga berarti kebahagiaan ruhani dan neraka berarti kesengsaraan ruhani.
6. Refleksi Edukatif
Muhammad Iqbal menyatakan ada dua sumber perkembangan pemikiran agama dalam Islam. Pertama, sumber baku (statis) yaitu Al-Qur'an dan al-Hadis. Kedua, sumber pengembangan (dinamis), yaitu ijtihad. Ijtihad adalah pendayagunaan kemampuan akal semaksimal mungkin untuk memahami Al-Qur'an dan al-Hadis, sehingga diperoleh pemahaman keagamaan yang sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Dalam sejarah Islam, puncak perkembangan kemampuan intelektual muslim dalam melakukan ijtihad terjadi pada zaman kebesaran Baghdad, lantaran umat Islam mampu menyerap dan memanfaatkan ilmu filsafat dan mantik, sehingga mampu melahirkan berbagai cabang ilmu seperti ilmu kalam, nahwu, fiqh dan lain-lain. Dilihat dari kacamata pendidikan, pada masa ini para mujtahid (guru) mengarahkan pendidikan untuk menumbuhkan kemampuan nalar logis dan kritis dalam rangka memahami Al-Qur'an dan al-Hadis agar diperoleh pemahaman yang sesuai dengan perubahan dan tuntutan zaman tanpa kehilangan orientasi hidup di dunia dan akhirat dan tanpa merusak nilai-nilai ketuhanan (tawhid). Metode pembelajaran yang digunakan adalah metode dialogis. Murid tidak dididik untuk pandai menghafal saja, tetapi diajarkan pula menilai, mengkritisi, problem solving, diskusi, dialog dan lain-lain yang menekankan kepada pemberdayaan kemampuan murid. Pada waktu itu, umat Islam (murid) telah memiliki modal iman dan taqwa yang kuat, maka tinggal mengasah ketajaman penalaran yang kritis dan logis yang perlu ditambahkan untuk menggali dan menumbuhkan berbagai cabang ilmu keislaman.
Berdasarkan refleksi ini, keterpurukan pendidikan Islam dewasa ini dapat dikembalikan sebagaimana pada zaman keemasannya dengan cara menerapkan prinsip-prinsip yang pernah dipakai oleh para mujtahid dahulu dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Prinsip-prinsip dimaksud adalah pemberdayaan keterlibatan siswa dalam pembelajaran seoptimal mungkin dengan menggunakan berbagai metode yang menitikberatkan kepada optimalisasi daya nalar kritis siswa. Tujuan pembelajaran tetap diarahkan untuk memperluas dan memperdalam pemahaman terhadap Al-Qur'an dan al-Hadis sebagai pedoman hidup, agar diperoleh pemahaman yang sesuai dengan konteks kehidupan di mana siswa berada, tanpa merusak nilai-nilai ketuhanan (tawhid).
Pembelajaran yang memberdayakan keterlibatan siswa dengan menggunakan berbagai metode yang menitikberatkan kepada optimalisasi daya nalar kritis siswa itu merupakan pembelajaran yang humanis. Terdapat berbagai model pembelajaran yang humanistik yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
Humanizing of the classroom dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Di sini siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar, mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
Quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Asas utama model ini adalah bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).
Konsep dasar pembelajaran The accelerated learning adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pencetus model ini, Dave Meier menyarankan agar guru mengelola kelas dengan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI).
Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.
Pembelajaran dalam paradigma baru pendidikan Islam menggunakan persenyawaan antara anthropocentris (kekhalifahan) dan theocentris (penghambaan). Artinya proses perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi penghambaan dan kekhalifahan.
Dimensi theocentris (hablun min Allâh) dan anthropocentris (hablun min al-nâs) adalah dua dimensi bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, dimensi anthropocentris dan dimensi theocentris pada hakikatnya mewujudkan kesejahteraan anthropocentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan. Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Persenyawaan antara theocentris (hablun min Allâh) dan anthropocentris (hablun min al-nâs) hanya akan terwujud apabila proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan the content state of negotiating process. Metode yang digunakan adalah metode burhani. Secara struktur, metode ini bermula dari proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas, sehingga muncul makna. Makna membutuhkan aktualisasi atas apa yang dimaksud sehingga bisa dimengerti dan dipahami. Untuk itu, bahasa dijadikan sebagai alat komunikasi disamping sebagai simbol pernyataan makna. Secara struktural metode ini memiliki tahap-tahap: (1) pengamatan terhadap realitas, (2) proses abstraksi atau terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran, dan (3) ekspresi, yaitu pengungkapan realitas yang dimaksud dalam kata-kata. Implementasinya dalam pembelajaran, metode ini terwujud dalam berbagai teknik pembelajaran seperti: bahtsiyyah, diskursif, istiqra’i, tahliliyyah, maupun yang lainnya.
Teknik-teknik tersebut dipandang dapat mendudukkan subyek pendidikan (guru-murid) lebih manusiawi (“humanior”). Guru dan murid berangkat bersama dari sumber (kurikulum) yang realis dan humanis yang dipahami bersama secara analitis dan filosofis dengan memaksimalkan fungsi dan peran akal dengan menggunakan korespondensi (hubungan akal dan alam), koherensi, dan pragmatik sebagai tolak ukur validitas keilmuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Jabar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo: Maktabah al-Wahbah, 1965
Abd al-Raĥman Badawi, Mażāhib al-Islāmiyyah, Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, 1983, cet. III, juz. I.
Ahmad Amin, Fajrul Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965
Ahmad Mahmud Subhi, Fī ‘Ilm al-Kalām, Iskandariyah: Muassasat al-Tsaqafi al-Jam’iyyah, 1982
Al-Syahrastani, Al-Milāl wa al-niĥāl Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushtafa al-Babi al-Halabi, 1976
Al-Syahrastani, Kitāb Niĥayah al-Iqdam fi ‘Ilm al-Kalam, ed. Alfred Guillaume, London: Oxford University Press, 1934
Anonim, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Fazlur Rahman, Islam, terj. Achsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1979
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1995
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986
Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Ralibi, Jakarta: Bulan Bintang, 1983
W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren, 1987
Internet:
http://www.Hidayatullah.com. Bagdad Hancur, Islam Terancam Kehilangan Warisan Bersejarah.htm, diakses 10 Januari 2007
http://CyberMQ.com Pustaka Islam Tarikh-Sejarah Khilafah Bani Abbas (Masa Kemajuan Islam).htm diakses 10 Januari 2007