BERTANDING ATAU BERSANDING
(Kajian Metodologis tentang Upaya Mendekatkan Sains dan Agama)
Oleh : Ali Murtadlo MS
A. Pendahuluan
Science and religion merupakan wacana yang selalu menarik perhatian kalangan intelektual. Bagi sebagian mereka, masih terdapat anggapan yang kuat bahwa “agama” dan ”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Sebab keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan. Dengan ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama tidak memperdulikan ilmu. Mereka sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Alasan utama mereka bahwa agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas. Sedangkan sains dapat membuktikan kebenaran temuannya. Alasan lainnya adalah bahwa meskipun keduanya berbicara tentang kebenaran, tetapi substansi kebenaran yang dimaksudkan oleh sains dan agama itu berbeda. Karena itu, golongan scientist tidak bisa masuk ke dalam wilayah kebenaran agama. Tetapi meskipun demikian, mereka boleh saja ikut berdiskusi bukan dalam tema kebenaran, melainkan hanya pada taraf proses logis dari ilmiah dalam menentukan suatu pendapat yang kemudian diklaim sebagai kebenaran.
Bagi sebagian yang lain, memandang keduanya dapat dipertemukan. Menurut Bagir, ketika membincangkan sains dan agama, ”integrasi” tampaknya menjadi kata kunci untuk mengungkapkan sikap yang dianggap tepat, khususnya dari sudut pandang umat beragama. Agama mesti diintegrasikan dengan wilayah-wilayah kehidupan manusia. Hanya dengan cara inilah agama dapat bermakna dan menjadi rahmat bagi pemeluknya, umat manusia, bahkan alam semesta.
Perbedaan pandangan ini membawa kepada perbedaan pola sikap. Diantara ahli ilmu pengetahuan ada yang setia kepada agamanya dan di kalangan agamawan banyak yang sama sekali tidak merasa asing dalam ilmu pengetahuan yang tak acuh terhadap agama, bahkan memusuhinya; dan banyak pula alim ulama yang takut akan ilmu pengetahuan dan terang-terangan mencela dan memusuhinya. Tulisan ini mencoba mengungangkap sisi-sisi pertentangan antara sains dan agama kemudian mencoba mendamaikan keduanya.
B. Kedigdayaan Sains
Ada dua aliran penting yang sangat mendongkrak akselerasi perkembangan sains, yang keduanya menekankan pada aspek experiment (causality) dan meaning yang berangkat dari data empiris. Experiment dalam sains berkaitan erat dengan pengalaman (experience), sedangkan meaning berkaitan erat dengan interpretation. Dua aliran dimaksud adalah aliran positivisme logical dan rasionalisme kritis. Positivisme logical adalah aliran filsafat yang dikembangkan oleh suatu kelompok diskusi yang menamakan diri Wiener Kreis pada tahun 1925, yang beranggotakan sejumlah ilmuwan dan filsuf terkenal. Kelompok ini secara teratur bertemu dan mendiskusikan tentang makna sains dan kemungkinan peranannya dalam menumbuhkan kehidupan kemasyarakatan yang lebih baik. Aliran ini berkeyakinan bahwa hanya sains yang dapat memberikan pengetahuan yang sah dan bahwa pengetahuan ilmiah itu harus bersifat empiris dalam arti dapat diobservasi pancaindera, dapat diketahui hubungan sebab akibatnya melalui eksperimen, yang kemudian menjadi objek ilmu. Berdasarkan keyakinannya, kelompok ini mengajukan dalil verifikasi. Putusan ilmiah adalah benar hanya jika putusan itu dapat diverifikasi secara empiris dan dapat diobservasi. Dengan demikian aliran positivisme logikal ini menganut teori korespondensi yang menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara putusan atau preposisi dengan dunia kenyataan, atau ada kesesuaian antara sebab dan akibat yang ditimbulkannya. Teori dianggap benar jika persis mencerminkan dunia empiris sebagaimana adanya
Metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut adalah metode empiris yang pada intinya adalah induksi. Metode induksi adalah cara memperoleh pengetahuan dengan jalan bertolak dari sejumlah data yang diverivikasi khusus lewat generalisasi sampai kepada dalil umum atau hukum. Dengan metode ini, mereka menggunakan bahasa untuk mengkonstruk teori ilmiahnya secara logis dan konsisten atas teori ilmiah berkenaan dengan obyek empiris yang ditelitinya. Teori ilmiah yang menjadi produk kegiatan ini sekaligus menjadi hipotesa baru yang perlu diuji dan diverifikasi kembali dengan kenyataan. Dengan demikian produk kegiatan ilmiah itu menjadi terbuka bagi kegiatan pengujian selanjutnya secara objektif oleh siapa pun.
Senada dengan positivisme logical, menurut rasionalisme kritis, pengetahuan ilmiah harus objektif dan teoritikal dan pada analisis terakhir merupakan penggambaran dunia yang dapat diobservasi. Dengan demikian aliran inipun menganut teori korespondensi. Bagi aliran ini, putusan ilmiah yang sesuai dengan kenyataan yang teramati hanya menghasilkan pengetahuan yang mungkin benar dan karena itu hanya dipandang benar sampai dibuktikan sebaliknya. Berbeda dengan positivisme logical, aliran ini menolak metode induksi sebagai metode ilmiah untuk memperoleh pengetahuan. Alasan yang dikemukakannya karena kesimpulan umum yang dihasilkan dengan menggunakan metode induksi pada dasarnya bertumpu pada premis-premis partikular sehingga kesimpulannya lebih luas ketimbang premis-premis yang mendukungnya. Meskipun demikian, aliran inipun tetap berpegang pada pencarian kausalitas dan makna.
Rasionalisme kritis berpendapat bahwa metode ilmiah yang tepat adalah metode deduksi yakni berdasarkan dalil umum menarik kesimpulan berupa putusan khusus. Rasionalisme kritis juga menyatakan bahwa asas verifikasi sebagai kriteria untuk menguji kebenaran dipandang tidak memadai untuk menjustifikasi suatu teori ilmiah karena kesimpulan umum yang terbentuk melalui metode induksi pada dasarnya tidak dapat mengklaim kebenaran yang pasti. Tidak seharusnya data kongkrit yang diperlukan untuk kesimpulan umum dijadikan objek penelitian empirik, karena cara ini hanya akan menghasilkan kesimpulan umum yang tidak pasti benar.
Sebagai gantinya aliran rasionalisme kritis mengajukan asas falsifikasi sebagai kriteria menguji (kausalitas) untuk mengkontrol putusan-putusan ilmiah (meaning). Proses falsifikasi dilakukan dengan jalan menyoroti kembali “searchlight” hipotesis untuk mencari fakta hipotesis tersebut. Selama hipotesis ini belum dibuktikan sebaliknya maka hipotesis ini masih dianggap benar. Sebagaimana halnya positivisme logical, rasionalisme kritis juga menggunakan bahasa untuk mengkonstruk dan mengfalsifikasikan teori ilmiahnya secara logis dan konsisten atas teori ilmiah berkenaan dengan obyek empiris yang ditelitinya.
Berdasarkan pemikiran di atas maka menurut aliran rasionalisme kritis, putusan ilmiah harus memenuhi syarat-syarat: (1) Harus dapat diuji secara empiris; (2) Teori ilmiah harus tersusun secara logis konsisten; (3) Putusan ilmiah harus sebanyak mungkin difalsifikasi artinya rumusan secara prinsip harus mungkin difalsifikasi. Jika putusan ilmiah itu mampu bertahan maka putusan itu dianggap benar untuk sementara.
Logis, empiris, observatif, menggunakan metode ilmiah baik induktif maupun deduktif, perlu menguji kembali hipotesis yang pada dasarnya sudah merupakan kesimpulan umum (yang masih bersifat sementara) dengan cara verifikasi ataupun falsifikasi, semuanya menjadi kata kunci bagi akselerasi kemajuan sains. Pada dasarnya semua itu berangkat dari eksperimen para scientist dalam menemukan kausalitas (yang sering disebut dengan kegiatan-kegiatan ilmiah) sehingga melahirkan sesuatu yang baru (novelty) berupa pengalaman dan penafsiran yang dituangkan dengan menggunakan bahasa dalam bentuk teori sebagai rumusan makna. Dengan kata lain, pengalaman itu diperoleh dari observasi dan data-data yang sebenarnya merupakan produk dari eksperimen. Sedangkan penafsiran pada dasarnya menjadi aspek teoritis yang ada karena eksperimen (sebelumnya), yang mengandung konsep, hukum, dan teori. Karena itu, eksperimen menjadi aspek yang penting bagi sains. Melalui eksperimen inilah akan terbentuk konstruksi teori yang baru, yang lebih sempurna dari yang telah ada, yang pada gilirannya sebenarnya mensyaratkan eksperimen baru yang menghasilkan modifikasi dan pengembangan atau penyempurnaan sebuah teori. Artinya, sains memiliki sifat obyektif dan terbuka untuk diuji kembali kebenarannya oleh siapapun karena pada dasarnya kebenaran konstruksi teori yang terbaru sekalipun masih bersifat nisbi dan tidak tertutup kemungkinan ditemukan lagi celah kekurangan teori itu.
Berkenaan dengan kenisbian itu, Einstein pernah menyatakan “The theory finds the justifications for its existence in the fact that it correlates a large number of single observations and it is just here that the ‘truth’ of the theory lies.” Namun arogansi scientist-pun muncul. Mereka merasa dengan kemampuan berpikir rasional semata-mata dapat mencapai kebenaran. Kemampuan berpikir rasional dipergunakan sebagai alat untuk menggali data-data empiris dalam proses “mencipta” sains melalui eksperimen yang dikemas dengan metodologi ilmiah. Karena itu dalam hal ini wahyu tidak diperlukan. Kepercayaan akan hasil eksperimen lebih dapat dipercaya daripada wahyu. Tak pelak lagi, deisme, materialisme, agnotisme, dan ateisme bermunculan. Newton dan metode ilmiah cara Newton sangat didewa-dewakan oleh penganut positivisme. Penganut aliran yang sangat menuhankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi metafisis, aksiologis, dan epistemologis ini menyatakan bahwa sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran dan sains itu merupakan ‘dewa’ dalam beragam tindakan. Sedangkan agama hanyalah merupakan hiasan belaka ketika tidak sesuai dengan sains.
Kritik-kritik para scientist terhadap agama tampak dalam berbagai bidang. Dalam bidang psikologi misalnya, setidaknya terdapat tiga aliran besar yaitu psikoanalisis, behaviorisme, dan humanistik. Sigmund Freud, tokoh utama psikoanalisis, menggunakan menggunakan id, ego, dan superego secara bersamaan, Freud menjelaskan neuroses, psikosis, mimpi dan sebagainya termasuk agama. Agama dilihatnya tidak ilmiah, dan hanyalah gejala psikoneurosis semata. Asal mula manusia beragama menurutnya, karena ketidakberdayaan manusia itu sendiri sehingga unconscious minds mengilusikan Bapak (Tuhan) yang akan menyelamatkan dari bencana alam, menyelamatkan kita dari kematian, dan yang mampu memperbaiki privasi budaya. Ilusi ini bermula dari masa kanak-kanak melalui parenting, yaitu pada masa bayi ia menyusu ibunya, pada masa anak-anak ia mengidolakan bapaknya sebagai sosok yang perkasa (strong arm). Tetapi setelah mereka dewasa dan mengetahui ada kelemahan pada bapaknya, maka sosok itu kemudian dialihkannya kepada Tuhan. Jadi, pengalaman parenting ini merupakan sumber alamiah dan sumber pertama (first begin) konsep manusia tentang Tuhan. Karena itu pada dasarnya agama hanya merupakan proyeksi psikologis terhadap external world; konstruksi unconscious terhadap supernatural reality; upaya manusia dalam mentransformasi metafisik kepada metapsikologi. Singkatnya, Freud mendefinisikan agama sebagai sebuah ilusi, yaitu suatu bentuk neurosis yang universal, yang muncul dari motivasi-motivasi primitif. Menanggapi hal ini, Rolston menyatakan bahwa psikologi analisis ini bukanlah nonteologi, tetapi anti-teologi.
Berbeda dengan psikoanalisis yang melihat manusia sebagai makhluk deteminis, Behaviorisme yang mendewakan konsep stimulus respon ini melihat manusia sebagai makhluk mekanistik dengan pola if-then. Berkenaan dengan agama, behavioris (Skiner) mengeluhkan bahwa ajaran agama tentang perilaku adalah perilaku kekerasan (the religious explanations of behavior are crude). Agama bagi manusia tak ubahnya sebagai respon terhadap suatu stimulus sosioreligius. Karena itu ajaran agama seperti keyakinan bahwa hidup itu sakral, adanya ampunan suci dari Kristus, bahwa dunia adalah ciptaan Tuhan, semua itu tidak dapat dipercaya secara rasional, karena ajaran-ajaran itu hanyalah produk penguatan yang membentuk sebab-sebab yang diperlukan oleh ajaran-ajaran itu. Agama dianggap sebagai penentu perilaku yang normative dan tidak efektif, tidak ilmiah, terutama karena penekanannya pada penggunaan penjelasan mental dan tahayul. Padahal respon positif manusia itu tidak berhubungan dengan dukungan agama dan respon itu dapat dicapai oleh manusia melalui rekayasa yang dilakukan secara ilmiah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Karena itu, agama hanya dipandang ide-ide ilusif manusia. Bahkan Skiner menyatakan bahwa Tuhan adalah pola arketip dari penjelasan yang fiktif.
Psikologi humanistik lebih positif melihat manusia daripada dua alira sebelumnya. Psikologi humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang kompleks dengan simbol (complex symbolic beings), lebih mulia dari binatang. Karenanya ketika manusia memberikan respon pada dasarnya bukanlah stimulus itu sendiri yang menghasilkan satu respon, tetapi lebih dari itu terdapat simbolisasi yang digunakan untuk menginterpretasi stimulus kemudian memberikan berbagai pilihan respon. Hal ini menunjukkan bahwa manusia bukanlah produk dari unconscious mind, ataupun makhluk yang dideterminasi oleh stimulus environmental, juga bukan sekedar makhluk proses kognitif; melainkan makhluk yang mampu untuk beraktualisasi diri (self-actualization) dan memiliki tanggung terhadap (personality) kepribadiannya. Agama tidak pernah menjadi pembicaraan psikologi humanistik. Hanna Jumhana Bastaman menyebutkan, kalaupun ada perhatian terhadap perilaku agama dan tindak ibadah dalam psikologi humanistik, hal itu diterangkan semata-mata dari level bio-psiko-kultural belaka. Level ini menonjolkan unsur akal dan intelektualitas, sedangkan unsur lain seperti ruh dan hubungan metafisis antara manusia dengan Tuhan dianggap di luar jalur ilmiah psikologi.
Dalam bidang sosiologi, kita mengenal Karl Marx (kelahiran 5 Mei 1818). Menurutnya, agama adalah sebuah ilusi. Agama merupakan bentuk ideologi yang paling ekstrim dan paling nyata, sebuah sistem kepercayaan yang tujuan utamanya adalah dapat memberikan alasan dan hukum-hukum agar seluruh tatanan dalam masyarakat bisa berjalan sesuai dengan keinginan penguasa. Namun pada kenyataannya, agama sangat tergantung pada kondisi ekonomi. Kepercayaan terhadap Tuhan merupakan lambang kekecewaan atas kekalahan dalam perjuangan kelas. Agama menciptakan alienasi, merampas potensi-potensi ideal kehidupan alami manusia dan mengarahkannya kepada sebuah realitas asing dan unnatural yang disebut dengan Tuhan. Dalam struktur masyarakat, agama adalah bagian dari superstruktur masyarakat dan ekonomilah yang menjadi pondasinya. Keterasingan yang terdapat dalam agama pada dasarnya adalah sebuah gambaran ketidak-beresan yang terdapat dalam pondasi masyarakat, yaitu ekonomi. Maka bukti-bukti yang terdapat dalam agama tersebut harus dilihat sebagai refleksi, sebuah pantulan keterasingan manusia yang paling nyata, dan keterasingan ini lebih bersifat ekonomi dan material ketimbang spiritual. Berdasarkan pemikiran seperti inilah khayalan tentang dunia fantasi ini menjadi agama sebagai bisnis yang sangat menguntungkan. Dengan demikian, jika ternyata Tuhan atau alam gaib itu tidak ada, maka beragama sama saja dengan mengkonsumsi candu semata-mata untuk pelarian dan kenyataan.
Kita juga melihat Friederich Nietzsche (1844—1900), seorang filosof, yang juga mengkritik agama. Ia mempermaklumkan kematian Tuhan (Gott is tot). Tuhan yang dimaksud olehnya adalah Tuhan sebagaimana dipahami dalam agama Kristen. Ia melihat Tuhan dalam agama ini sebagai penghalang besar yang menghadang manusia untuk menjadi manusia. Menurut Nietzsche, agama Kristen telah menginjak-injak dan mematahkan manusia secara total, menjerumuskan manusia ke dalam lumpur. Dalam keterlemparannya yang nista itu, manusia meratap, semoga suatu saat akan datang cahaya belas dari Tuhan. Merasa terhibur oleh dorongan rahmat, manusia sesaat di dalam surga. Akhirnya manusia terjerumus dalam belenggu jiwa yang sakit, dan justru dari belenggu kesakitannya itulah lahir segala fantasi dan ilusi agama Kristen. Maka baginya, agama Kristen hanyalah memaukan hal-hal yang melawan tugas luhur manusia. Selanjutnya, Tuhan menurut Nietzsche, hanyalah gagasan manusia yang tidak berani mengikuti dorongan daya hidupnya sendiri. Ia secara fanatik menyangkal adanya Tuhan bukan berdasarkan pertimbangan filosofis-rasional, tetapi karena dengan adanya Tuhan ia tidak melihat ruang bagi pengembangan diri manusia. Karena itu, membebaskan diri dari pikiran (tentang) Tuhan berarti membebaskan manusia agar ia dapat hidup sendiri.
C. Agama: Persinggungannya dengan Sains
Contoh-contoh kritik terhadap agama di atas untuk menunjukkan bahwa manusia, mulai awal abad 19, sangat optimis dapat mendapatkan kebenaran mutlak melalui pencarian kausalitas dan makna tanpa melibatkan wahyu. Manusia semakin yakin akan kebenaran mutlak sains terutama setelah munculnya teori Newton. Namun pada akhir abad ke-19 dalam sains diamati ada tiga gejala yang mulai menggelisahkan para ilmuwan. (1) Dalam gerakan Mercurius ada selisih 3 detik radian per abad. Kalau hukum Newton mutlak benar seharusnya tidak ada selisih itu. (2) Pada perhitungan gaya tarik antar galaxy dengan rumus Newton ada penyimpangan, dimana semakin besar jaraknya, semakin besar pula penyimpangannya. (3) Pada perhitungan kecepatan mendekati cahaya juga terdapat penyimpangan-penyimpangan. Makin mendekati kecepatan cahaya penyimpangannya makin besar.
Kegelisahan para ilmuwan akhirnya terjawab oleh Albert Einstein pada tahun 1905 dengan teori relativitasnya yang sekaligus “menumbangkan” teori Newton. Dengan kata lain, kedigdayaan sains dengan positivisme logical dan rasionalisme kritis mulai dipertanyakan kembali. Seperti dikatakan Mulyadi, karena Barat hanya membatasi obyek kajian pengetahuan hanya pada entitas fisik, maka alat yang digunakan adalah indera fisik…karena hanya obyek ini saja yang dapat diteliti secara obyektif dan dapat diverifikasi. Sementara obyek non fisik tidak bisa diserap secara obyektif dan sulit diverifikasi. Tetapi, ada keraguan di kalangan ilmuwan Barat terhadap obyek-obyek kajian filsafat ilmu di dunia Islam. Keraguan ini cermin masyarakat Barat yang beralih dari masyarakat theistic ke arah atheisthic melalui isme-isme seperti materialisme dan positivisme. Mereka mulai melirik kepada agama.
Kondisi manusia modern sekarang ini, karena mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat spiritual, maka mereka tidak bisa menemukan ketentraman batin, yang berarti tidak adanya keseimbangan dalam diri. Menyadari bahwa modernisasi ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat spiritual, maka tidak heran kalau sekarang manusia beramai-ramai untuk kembali kepada agama yang memang berfungsi, antara lain, untuk memberikan makna (meaning) kepada kehidupan. Dalam konteks ini, Naisbitt dalam Megatrends 2000, mengatakan bahwa: "Fenomena kebangkitan agama merupakan gejala yang tidak bisa dihindarkan lagi pada masyarakat yang sudah mengalami proses modernisasi, sebagai counter terhadap kehidupan yang semakin sekuler".
Di dunia Barat, kecenderungan untuk kembali kepada dunia spiritual ditandai dengan semakin merebaknya gerakan fundamentalisme agama dan kerohanian. Fenomena ini cukup menarik dicermati karena polanya jauh berbeda dengan agama-agama mainstream (agama formal), kalau tidak dikatakan malah bertentangan. Corak atau mode keberagamaannya cenderung bersifat pencarian pribadi, lepas dari agama-agama di sana, seperti Kristen, Budha, dan lainnya. Akibatnya, muncul kultus-kultus dan sekte-sekte spiritual ekstrim yang sangat fundamentalis. Sebagai contoh kasus David Koresh dengan Clan Davidian-nya, yang membakar diri setelah dikepung tentara Amerika, atau Pendeta Jim Jones yang mengajak jama'ahnya bunuh diri secara massal di hutan, atau kasus sekte sesat Ashahara di Jepang yang membunuh massa di jembatan kereta api bawah tanah. Semua itu pada dasarnya, akibat kebingunan mereka dalam menentukan hidupnya. Mereka kalut dan kehilangan kendali dalam menghadapi kehidupan yang semakin sulit. Jiwa-jiwa dan batin-batin mereka sibuk mencari, tapi mereka tidak tahu apa yang mereka cari.
Agama, sebagaimana halnya dalam sains, mempunyai kesamaan maksud yaitu untuk memahami kebenaran sebagai inti ajarannya, tetapi mereka juga memiliki perbedaan dalam hal prosedur pemerolehan kebenaran itu. Dalam pemerolehannya, sains mendasarkan diri kepada kausalitas, sedangkan agama mendasarkan diri kepada interpretasi ajaran. Karena itu pada dasarnya agama juga bersifat metodologis dalam arti bahwa ia mengandung/memadukan antara pengalaman-pengalaman, teori, dan juga inferensi. memiliki seperangkat metode. Perbedaan metode pemerolehan kebenaran itu sepertinya bukan menjadi perbedaan yang krusial, karena pada dasarnya kausalitaspun dibutuhkan dalam pemahaman kebenaran agama. Kausalitas itu akan tampak sebagai perbedaan yang krusial jika ia dikaitkan dengan obyek formalnya. Obyek formal dalam sains adalah realitas, sehingga kausalitasnya diarahkan ke obyek itu. Karenanya bisa diverifikasi ataupun difalsifikasikan. Sedangkan obyek formal agama adalah yang non-verivicable dan non-falsifiable.
Agama, dengan demikian, secara metodologis memiliki seperangkat unsur sebagaimana yang digunakan dalam sains. Experiment—meaning, dan experience—interpretation yang terdapat dalam sains, terdapat juga dalam agama. Namun dari semua ini yang terpenting bagi agama adalah experience dan interpretation. Salah satu unsur penting dalam pengalaman keagamaan ( religious experience) umat manusia adalah apa yang disebut dengan awe (perasaan terpesona/kagum atau perasaan takut) dan reverence (penghormatan) terhadap sesuatu yang dianggapnya suci dan keramat. Kesadaaran tersebut tampak pada ciri-ciri umum agama-agama kitab (biblical religion) yang meliputi: (1) awe and reverence (rasa kagum dan penghormatan), (2) humility and guilt (kerendahan hati dan dosa), (3) the acceptance of forgiveness (penerimaan ampunan), (4) responsibility and for action in society (tanggung jawab terhadap tindakannya di masyarakat. Dengan ciri-ciri ini, masing-masing agama bercerita tentang pengalaman-pengalaman (experiences) pewahyuan awal yang ditafsirkan (interpretation) dan ditafsirkan kembali (re-interpretation) dalam pelbagai konteks historis dan asumsi kultural yang khusus.
Dalam pada itu, di dalam agama manusia menjadi pembangun simbol yang aktif dan kreatif. Ada interaksi yang terus menerus antara pengalaman (experience) dengan penafsiran (interpretation) yang saling mempengaruhi. Teologi sebagai analisis semantik dalam agama mengintepretasikan pengalaman komunitas beragama melalui bahasa. Ketika interpetasi atas pengalaman komunitas ini muncul, tidak menutup kemungkinan terjadinya salah interpretasi. Redaksi bahasa teologi dalam menginterpretasikan pengalaman komunitas beragama, dengan demikian, berpengaruh pada kehidupan (budaya) suatu komunitas.
Untuk itu, dalam interpretasi agama (sebagaimana juga dalam sains) ada tiga komponen utama yang perannya masing-masing saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Ketiga komponen itu adalah: yang ultimate, akal, dan bahasa. Peran akal dan bahasa dalam interpretasi akan mengikuti jenis ultimate yang akan diinterpretasikan. Misalnya ketika ultimate itu dalam bentuk commitment, maka peran akal dan bahasa adalah investigasi dan simbol. Jika ultimate itu dalam bentuk ultimate value (seperti kesepakatan sosial, kerelaan berkorban misalnya) maka peran akal dan bahasa adalah inquiry dan analog.
Pembicaraan mengenai agama yang juga memiliki seperangkat metodologis, sebagaimana halnya dalam sains, dalam memahami atau mencari kebenaran di atas membawa kepada pembicaraan mengenai obyek material dan obyek formal. Pada setiap agama terkandung dua obyek tersebut, hanya saja terdapat berbagai macam penamaan. Sebagai contoh, ada yang menamakan general pattern untuk menyebut obyek formal agama, dan particular pattern untuk menyebut obyek material agama.
Menurut Amin Abdullah masing-masing obyek itu memiliki, setidaknya, tujuh unsur. Unsur-unsur yang terdapat dalam general pattern merupakan the essence and the focus of religion, yang terdiri dari: (1) trancendental focus, (2) a non falisifiable alternate reality, (3) the numinous, (4) a personal faith, (5) the sacred, (6) the trancendent, dan (7) the unknowable, non-historical, a temporal, trancendent sacred. Sedangkan particular pattern merupakan dimensions of religiousity in its empirical and historical manifestation yang tediri dari: (1) doctrinal and philosophical dimension, (2) practical and ritual dimension, (3) experimental and emotional dimension, (4) narrative or mythic dimension, (5) social and institutional dimension, (6) ethical and legal dimension, dan (7) material or artistic dimension.
Memperhatikan pembagian obyek kajian agama beserta bagian-bagiannya seperti di atas, dapat diketahui bahwa agama bisa mengambil dua bentuk, obyektif dan subyektif. Agama menjadi obyektif dalam arti bahwa memang secara obyektif semua agama memiliki dua obyek seperti di atas. Tetapi ketika masing-masing obyek itu diinterpretasikan oleh umat/komunitas beragama, maka agama menjadi subyektif. Atau dalam bahasa Mukti Ali, yang obyektif itu adalah “agama”, dan yang subyektif itu adalah “keagamaan”.
Melalui pembagian obyek kajian agama itu pula dapat diketahui bahwa obyek formal agama merupakan obyek yang khusus yang tidak dimiliki oleh sains. Di sinilah, sebagai konsekwensinya, tampak keterbatasan sains yang ia tidak menyentuk kepada obyek yang metafisis sebagai obyek kajiannya. Sebaliknya, sains di sini hanya bisa menyentuk kepada obyek material agama. Sentuhan sains kepada obyek material ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu. Misalnya disiplin ilmu sosiologi maupun antropologi dapat digunakan untuk melihat dimensi social and institutional. Di sinilah letak interkoneksitas agama dengan sains.
D. Mendekatkan Sains dan Agama
Menyatukan sains dan agama, atau bahkan menggantikan agama dengan sains, tidak mungkin berhasil dilakukan. Dua-duanya merupakan kebutuhan manusia yang berbeda entitasnya. Yang mungkin bisa dilakukan adalah mendekatkan keduanya. Upaya ini merupakan sesuatu yang bisa dilakukan mengingat antara sains dan agama memiliki titik kebersinggungan.
Ian G. Barbour, menawarkan hubungan sains dan agama dalam empat tipologi, yaitu: conflict, independence, dialogue, dan integration. Namun ia tampaknya lebih berpihak pada dua pandangan yang terakhir, khususnya integration. Dengan menggunakan tipoloti ini, maka teori-teori ilmiah mutakhir dicari implikasi teologinya, lalu suatu teologi baru dibangun dengan memperhatikan teologi tradisonal sebagai salah satu sumbernya. Dengan demikian, “integrasi” ala Barbour, memiliki makna yang sangat spesifik, yang bertujuan menghasilkan suatu reformasi teologi dalam bentuk theology of nature. Barbour, membedakannya dari natural theory, yang tujuan utamanya untuk membuktikan kebenaran-kebenaran agama berdasarkan temuan-temuan ilmiah.
Senada dengan Barbour, adalah John F. Haught, yang membagi pendekatan sains dan agama, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi. Pendekatan Konflik, menekankan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukan atau dipadukan. Ilmuwan memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan agama berdasarkan keyakinan. Ilmuwan juga memandang bahwa agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif.
Pendekatan kontras, menekankan bahwa tidak adan pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Bahkan banyak ilmuwan dan agamawan tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Validitas agama sama dengan validitas sains dalam batas ruang penyelidikan masing-masing. Karenanya tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing.
Pendekatan Kontak, mengupayakan adanya dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Menurut Haught, sains dan agama jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi kehidupan nyata, sains dan agama tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak. Pengetahuan ilmiah dapat memperluas ”cakrawala keyakinan relegius” dan bahwa perspektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta.
Pendekatan Konfirmasi, menyarankan agar agama dan sains saling mengukuhkan. Artinya, agama dapat memainkan peran dalam pengembangan sains yang lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan sains dapat memperkaya dan memperbarui pemahaman agama. Dengan demikian, posisi “agama memperkuat dorongan yang dapat memunculkan sains, karena agama dengan suatu cara yang sangat mendalam, mendukung sepenuhnya dan bahkan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna kepada alam semesta.
Dalam tataran praktis, untuk menyandingkan antara sains dan agama Paul Davies dalam bukunya God and The New Physics, sebagaimana dikutip oleh Bunyamin mengusulkan dua hal. Pertama, adanya dialog yang semakin intensif antara para ahli sains, filsafat, dan teolog (agamawan) mengenai persoalan-persoalan yang seringkali menjadi pemicu terjadinya perdebatan tentang sains dan agama. Kedua, adanya minat yang besar untuk pemikiran mistik dan filsafat Timur. Tawaran ini patut dipertimbangkan. Tetapi jika dikaji lebih jauh, akan tampak bahwa tawaran inipun masih belum dikatakan praktis, terutama pada poin ke dua. Dalam hal ini, bukannya Barat tidak menaruh minat yang besar dalam mempelajari mistik dan filsafat Timur. Banyak dari kalangan mereka yang ahli dalam bidang ini. Hanya saja sayangnya, mereka menggunakan keahliannya itu bukan untuk memperkuat “agama” yang tertuang dalam mistik dan filsafat Timur, tetapi justru digunakan untuk menyerangnya.
Dalam tataran praktis ini, tawaran Amin Abdullah yang diistilahkan dengan interkoneksitas, yang lebih layak untuk dipertimbangkan. Dengan tawaran ini, ilmuwan baik saintis maupun agamawan, tidak hanya dituntut untuk memahami area bidang kajiannya sendiri, tetapi sekaligus juga dituntut untuk memahami area di luar bidang kajiannya. Pemahaman terhadap dua area bidang kajian—atau lebih yang salah satunya adalah agama—ini kemudian dijadikan sebagai pisau analisis untuk melihat setiap topik pembahasan. Dengan langkah praktis seperti inilah sains dapat bersanding dengan agama.
E. Kesimpulan
Perdebatan antara sains dan agama sebagai dua entitas yang berbeda dari berbagai segi dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan, telah memakan waktu yang cukup panjang. Perdebatan itu pada dasarnya timbul karena sikap ilmuwan masing-masing kubu dalam memahami arti atau mengklaim kebenaran, dimana kebenaran ini merupakan sesuatu yang dicari oleh keduanya. Bagi ilmuwan pada bidang sains, kebenaran hanya dapat diperoleh dan dipahami berdasarkan data empiris. Sedangkan agamawan mendasarkan tidak hanya empiris tetapi juga metafisis. Perbedaan itu timbul karena mereka berbeda dalam menggunakan metode berpikirnya. Saintis menggunakan metode deduktif-induktif melalui kegiatan eksperimen untuk menemukan kausalitas dan meaning, sementara agamawan menggunakan “kontempelatif” melalui experience dan interpretation.
Dimulai dari “tumbangnya” teori Newton dan kekeringan spiritualitas manusia modern, akhirnya sains dan agama mulai dilirik sebagai dua entitas yang tidak perlu dipertentangkan. Banyak tawaran yang kemukakan oleh banyak ahli seperti Holmes Rolston, Ian G. Barbour, John F. Haught dan sebagainya, yang pada dasarnya mereka lebih cenderung memilih untuk menghindari truth claim dari tipologi yang ditawarkan, karena sains dan agama keduanya memiliki tolok ukur kebenaran yang berbeda. Misalnya Ian G. Barbour, menawarkan conflict, independence, dialogue, dan integration. Dia sendiri lebih cenderung kepada integration. Demikian juga dengan John F. Haught, yang menawarkan empat pendekatan, yaitu pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi. Dia sendiri cenderung kepada pendekatan konfirmasi.
Agaknya berbagai tawaran itu akan tetap menjadi sebuah wacana jika tidak diimbangi dengan langkah praktis. Langkah praktis sebagaimana yang ditawarkan oleh Paul Davies memang bisa dipertimbangkan. Tetapi agaknya itupun kurang praktis, dibandingkan dengan interkoneksitas.
DAFTAR PUSTAKA
Akh. Minhaji, ”Transformasi IAIN Menuju UIN, Sebuah Pengantar, dalam M.Amin Abdullah, dkk., Integrasi Sains Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains, Yogyakarta: Pilar Relegia dan SUKA Press, 2004
Albert Einstein, Relativity: The Special and General Theory, New York: Bonanza Books, 1952
Asep Bunyamin, Saling Hormat Agama dan Sains, dalam h http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/%202005/0105/14/%20renungan_jumat.htm
Charles Davis, Religion and the Making of Society, Cambridge: Cambridge University Press, 1994
Daniel L. Pals, Dekontruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, Yogyakarta: Irtisad, 2005
Elmar Klinger, “Nietzsche und die Theologie” dalam “Zeitschrift fuer Katholische Theologie” sebagaimana dikutip oleh Sindhunata, Majalah Basis, No. 11—12 Tahun ke-49 November—Deseember, 2000
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machavelli sampai Nietsche, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997
H.F. Ellenberger, The Discovery of Unconsciousnes, (London: Allen Lane, the Pinguin Press, 1970
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1995
Hanna Djumhana Bastaman, Dari Anthropo-Sentris Ke Anthropo Religiosus-Sentris, dalam Fuat Nashori, Membangun Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta; Sippress, 1994
Hidajat Nataatmadja, Ilmu Humanika: al-Inshirah,Bandung: Penerbit Risalah, 1984
Holmes Rolston, Science and Religion, A Critical Survey, New York: Random House, 1987
Ian G. Barbour, “When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers?”, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, Bandung: Mizan, 2002
Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, London: Harper Torchbook, 1971
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, terj. Fransiskus Borgias, Bandung: Mizan, 2004
Keith Ward, God, Chance, and Necessity, terj. Larasmoyo, Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu: Argumen bagi Keterciptaan Alam Semesta, Bandung: Mizan, 2002
Liek Wilardjo, Realita dan Desiderata, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990
M. Amin Abdullah, ”Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama: Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik”, dalam M.Amin Abdullah, dkk., Integrasi Sains Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains, Yogyakarta: Pilar Relegia dan SUKA Press, 2004
Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, Jakarta: UIN Press, 2003
Nietzsche, Zarathustra, terj. Sudarmaji dan A. Santosa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, Edisi II, Yogyakata: Reka Sarasin, 2001
Soedewo PK., Islam dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Balai Buku Ichtiar, t.th
Yapsir G. Wirawan, Keunggulan dan Kelemahan Behaviorisme, dalam Fuat Nashori, ed., Membangun Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta; Sippress, 1994
Yumi, Bertanding dan Bersanding, resensi buku Djalaluddin Rahmat “Psikologi Agama: Sebuah Pengantar” dalam http://www.penulislepas.com/more.php?id=213010M6
Zainal Abidin Bagir, Pendahuluan: Bagaimana Mengintegrasikan” Ilmu dan Agama?, dalam Buku Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005.