FUNDAMENTALISM OTENSITAS*
Oleh: Ali Murtadlo MS.
A. Pendahuluan
Pemikiran manusia, termasuk dalam mode beragama, merupakan ekspresi proses komunikasi pemikir dengan lingkungannya. Pemikiran yang radikal tidak akan pernah muncul dalam situasi masyarakat yang mantap secara sosial, politik, dan ekonomi. Pemikirna manusia itu dikembangkan oleh manusia dalam memberikan jawaban terhadap situasi dan kondisi yang berkembang.
Charles Davis mengungkapkan bahwa dalam konteks sosiologi agama modern, terdapat tiga mode agama yaitu agama kosmik (cosmic religion), agama kontemplasi (contemplative religion), dan agama politik (political religion). Agama kosmik dipahami sebagai agama yang menjadi mediasi pengetahuan kita terhadap dunia luar atau kosmos. Melalui perhitungan (ekstrapolasi) dan analogi, pengetahuan obyektif terbatas kita diproyeksikan pada The Trancendent. Tuhan disembah sebagai sumber pencipta dan pengatur kosmos. Konsep ketuhanan semacam ini yang memuarakan pada pemikiran bahwa Tuhan merupakan representasi dari keteraturan total di alam.
Agama kontemplatif berusaha memahami The Trancendent melalui kesadaran diri, perenungan, mengutamakan pengalaman langsung atau pre-lingustic experience. Bagi agama ini, doktrin keagamaan beserta lembaga dan elemen eksternal keagamaan, adalah hanya simbol ekspresi dari pengalaman subyek yang terdalam. Karena itu mereka menghindar dari truth claim doktrin keagamaan dengan suatu ketertarikan kepada hal-hal yang bersifat pre-lingustic expereience dan pre categorical.
Agama politik lebih concern pada reaksi sosialnya. Davis menyebutnya sebagai agama yang mengejawantah dalam institusi-institusi dan praktek-praktek masyarakat sebagaimana yang ada dalam konteks sosial dan politik. Agama politik menemukan kehadiran The Trancendent dalam realitas sosiologis. The Trancendent dipahami sebagai sesuatu yang bersifat publik, mempunyai relasi-relasi dengan konteks kemanusiaan sebagai zoon politicon. Agama, politik, masyarakat merupakan satu hal yang holistik dan tidak terpisahkan. Tuhan “mengejawantahkan dan diejawantahkan” dalam realits politik masyarakat.
Berdasarkan keberagamaan di atas, agama politik merupakan mode yang “rawan” dengan konflik sosial. Hal ini hampir dapat dipastikan karena dalam domain ini masyarakat beragama baik secara intern maupun ekstern yang berbeda-beda doktrin dan pemahamannya slaing berinteraksi dan berrelasi satu dengan lainnya dengan berbagai kepentingan di antara mereka.
Konflik sosial yang dipicu oleh agama tampaknya merupakan sesuatu yang masih dan senantiasa akan menjadi hal yang niscaya dalam konteks masyarakat modern. Munculnya fenomena fundamentasme agama merupakan hal yang tidak dapat tidak dinafikan dalam konteks ini. fundamentalisme agama yang biasanya bercirikan antara lain sikap eksklusifisme, ekstrimisme, intoleran, dan militan, mau tidak mau telah membeirkan banyak sumbangannya dalam memicu konflik dalam masyarakat agama.
Fundamentalisme dalam hal ini terjadi karena agama tidak hanya dipahami dalam konteks keberagamaan kosmik dan kintemplatik, tetapi ia juga menyatu dan mengejawantah dalam pemahaman keberagamaan politik. Keberagamaan model terakhir inilah yang meniscayakan sebuah doktrin dan pemahaman agama tidak hanya berkuasa dalam wilayah pribadi, tetapi jkuga menuntut lebih jauh ke dalam wilayah publik. Ironisnya, belakangan ini khususnya di Indonesia, fundamentalisme lebih diidentikkan dengan Islam meskipun pada awal kemunculannya, fundamentalisme bukan berasal dari Islam.
B. Fundamentalisme (Sejarah Muncul dan Karakteristiknya)
Fundamentalise merupakan istilah yang digunakan untuk menunjuk corak pemikiran dan ekspresi keagamaan masyarakat. Istilah tersebut berasal dari kalangan akademisi Barat dalam konteks sejarah keagamaan masyarakat mereka. Istilah ini pada mulanya dipakai untuk gerakan reaksioner Kristen di Amerika Serikat (sejak tahun 1870 M.). Dalam The Fundamentalist Phenomenon, A View From Within, A Respone From Without sebagai dikutip Budhy Munawar Rachman, dinyatakan bahwa mencap berbagai orang sebagai fundamentalis telah menjadi stock in trade dalam wacana politik dan jurnalistis pada tahun-tahun akhir ini. Beberapa—jika tidak sebagian besar—orang yang memakai istilah fundamentalisme dan fundamentalis seolah olah tidak tahu atau lupa pada konteks khusus agama Kristen, di mana isitilah-istilah ini pertama kali muncul.
Fundamentalisme, menurut Armstrong, muncul bukannya tanpa sebab. Fundamentalisme terlihat jelas saat proses modernisasi sudah sangat maju. Mulanya masyarakat keagamaan berusaha mereformasi tradisi mereka dan mengawinkan tradisi mereka dengan kebudayaan modern. Akan tetapi, ketika langkah-langkah moderat ini tampak tidak memberi manfaat, beberapa orang beralih ke metode-metode yang jauh lebih ekstrim; dan sebuah gerakan fundamentalis pun lahir. Di antara ketiga agama monoteistik, Islam adalah agama terakhir yang mengmbangkan nada fundamentalis, ketika kebudayaan modern mulai mengakar di dunia Muslim pada akhir 1960-an dan 1970-an. Pada masa ini, fundamentalisme sangat mapan di antara kalangan Kristen dan Yahudi, yang telah lama menikmati pengalaman modern.
Dalam perkembangan berikutnya, gerakan fundamentalisme mengarah kepada sebuah reaksi terhadap gerakan modernisme awal abad ke dua puluh, yang kritiknya terhadap Bibel, liberalisme keagamaan, rasionalisme, dan teori evolusinya dipahami sebagai lawan agama Kristen yang “benar”. Mereka menghendaki agar para umat beragama kembali kepada prinsip-prinsip yang fundamental. Di tengah-tengah maraknya kritik terhadap Bibel, liberalisme keagamaan, rasionalisme dan evolusi Darwin, pemikiran fundamentalis pun merupakan hal baru, inovatif, dan reformatif. Mereka berpangkal dari prinsip “tak mungkin salah” dari kitab sucinya, termasuk bentuk huruf asli dari kitab suci tidak boleh diubah, dan tidak mau tahu terhadap pandangan-pandangan teologi bari dan eksegesi yang mencoba menyentuh bentuk kepercayaan tradisional mereka.
Awal abad kedua puluh memang merpakan tahun-tahun yang penuh dengan kreatifitas tanpa banding dan prestasi yang mencengangkan dalam bidang seni, ilmu pengetahuan, dan pemikiran keagamaan. Semuanya sebagai hasil dari semangat jiwa modern. Para pemikir yang paling kreatif di semua bidang dirasuki hasrat untuk menciptakan dunia baru, membuang masa lampau dan bergerak bebas lepas. Baik dalam bidang seni maupun sains tampak ada keinginan untuk kembali ke prinsi-prinsip awal, memotong-motong hal pokok hingga sekecil-kecilnya, dan dari dasar nol ini memulai yang baru. Pada bidang keagamaan muncul usaha untuk membandkitkan rasa spiritualitas, tanpa melibatkan Tuhan atau supranatural. Orang-orang yang taat beragama juga melakukan usaha serupa untuk membangun sudut pandang baru terhadap hal-hal fundamental. Orang-orang yang dapat meramalkan apa yang akan terjadi menyadari bahwa mustahil bagi masyarakat modern untuk beragama dengan cara lama. Di sinilah terjadi perbedaan pandangan keberagamaan antara kaum liberal yang cenderung bebas lepas dan kosenrvatif yang cenderung literalis dan pada kahirnya turut membidani lahirnya gerakan fundamentalis.
Gerakan-gerakan fundamentalis dalam semua agama memiliki karakteristik khusus. Mereka mengungkapkan kekecewaan dan ketertarikan dengan eksperimen-eksperimen modern yang belum memenuhi semua yang ia janjinkan. Gerakan-gerakan ini juga mengekspresikan ketakutan yang nyata. Mereka merasa yakin bahwa sistem sekuler dibuat untuk menghapus agama. Fundamentalisme seolah-olah telah menjadi bagian penting dunia modern. Di manapun modernitas menancapkan akarnya, sebuah gerakan fundamentalis mundkin akan muncul menyertainya dalam reaksi yang sadar. Kaum fundamentalis seringkali menunjukkan kekecewaannya terhadap suatu perkembangan modern dengan menekankan secara berlebihan unsur-unsur yang ada dalam tradisi mereka yang bertentangan dengan perkembangan tersebut. Karena itu komunitas fundamentalisme dapat dianggap “lawan” modernitas.
Hubungan antara modernitas dan fundamentalisme melangkah terus dalam suasana saling menuding. Kaum liberal atau modernis melihat teologi fundamentalis bersifat reaksioner, literal, dan mereka berpaling dari spektrum politik kiri ke esktrim kanan. Para fundamentalis hampir selalu merasa terancam dengan usaha kaum liberal, akibatnya pandangan dan sikap mereka menjadi lebih ekstrim. Seiring waktu, kedua kubu menjadi semakin tidak mampu memahami satu sama lain. Fundamentalisme bermula dari pertikaian internal, dengan kubu liberal atau sekuler dalam soal kebudayaan atau kebangsaan mereka sendiri. Seringkali kaum fundamentalis memulai dengan menarik diri dari mainstream kebudayaan untuk menciptakan sebuah wadah bagi iman yang sejati. Mereka terkadang melakukan sebuah serangan dalam beberapa bentuk yang dirancang untuk membawa mainstream kebudayaan tersebut ke jalur yang “benar” dan kembali mensucikan dunia. Fundamentalis merasa bahwa mereka bertempur untuk bertahan hidup dan karena mereka terdesak, mereka pun percaya bahwa mereka harus berjuang untuk dapat keluar dari kebuntuan. Akan tetapi fundamentalisme bukan sekadar sebuah cara “menggunakan” agama bagi sebuah tujuan politik. Fundamentalisme merupakan pemberontakan yang penting untuk melawan pengucilan nilai-nilai ilahiah yang dilakukan kaum sekuler dari kehidupan umum agar nilai-nilai spiritual tetap berlaku di dunia modern.
Marty dan Appleby menjelaskan bahwa gerakan fundamentalisme identik dengan gerakan “fight”. Terdapat lima fight yang menjadi indikator jelas bagi sebuah fundamentalisme, yaitu:
1. Fight back (melawan). Hal ini bermakna bahwa fundamentalisme merupakan gerakan yang bersifat reatif terhadap hal-hal yang mengancam identitas mereka. Dalam konteks ini mereka cenderung bersifat militan.
2. Fight for (memperjuangkan). Fundamentalisme berusaha memperjuangkan pandangan hidup yang telah mereka warisi dan adopsi dan mereka secara konsisten memperkuatnya.
3. Fight with. Para fundamentalis berjuang dengan mengadopsi terhadap realitas masa lalu untuk memperkuat identitas dirinya di masa kini. Mereka senantiasa berkiprah dalam konteks masa lalu—konsep—yang mereka anggap fundamental dan mempertahankannya.
4. Fight against. Mereka bertempur melawan “other” baik yang berasal dari luar—seperti orang kafir, orang yang anti terhadap sacred power, dan para pembaharu (the modernizer)—dan dari dalam—seperti seseorang yang moderat mengikuti modernisme.
5. Fight under. Para fundamentalis berjuang di bawah panji Tuhan bahwa mereka berjuang dalam membela kehendak Tuhan, ajaran-ajaran Tuhan, melawan mereka yang menentangnya.
James Barr memberikan beberapa struktur dasar yang menjadi ciri gerakan fundamentalisme. Pertama, penekakan yang amat kuat pada ketidak-salahan (inneracy) kitab suci (Al-Kitab) bahwa kitab suci sebagaimana namanya, ia “suci” dari kesalahan dalam bentuk apapun. Kedua, kebencian yang mendalam terhadap teologi modern serta terhadap metode, hasil, dan akibat-akibat studi kritis modern terhadap kitab suci. Ketiga, faham absolut yaitu jaminan kepastian bawha mereka yang tidak menganut pandangan keagamaan seperti mereka sama sekali bukan golongan (Kristen sejati).
Senada dengan Barr, Djaka Soetapa meringkaskan gagasan-gagasan pokok mengenai fundamentalisme Kristen. Menurutnya, gagasan-gagasan tersebut adalah: pertama, mempertentangkan pernyataan Allah dengan akal manusia. Kedua, mempertentangkan Kitab Suci (sacred text) dengan ilmu pengetahuan. Ketiga, mengamankan Kitab Suci terhadap kritik kitab suci, dengan ajara bahwa Kitab Suci yang “tidak bisa salah”, dan keempat, mencap orang yang tidak sependapat dengan itu semua sebagai “Kristen yang tidak benar”.
Jika istilah fundamentalisme ini diterapkan pada kehidupan beragama kaummuslim, tampaknya ada ketidak-tepatan. Catatan Soetapa dan yang lain jika diterapkan dalam konteks keberagamaan Islam, maka hasilnya kurang lebih sebagai berikut:
Pertama, Islam tidak mempertentangkan antara pernyataan Allah dengan akal manusia. Islam justru mendorong umatnya untuk merenungkan ayat-ayat Allah dengan akal, sekaligus memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam raya ini.
Kedua, Kitab Suci (Al-Qur'an) justru memberi apresiasi yang tinggi dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan. Apalagi jika ilmu pengetahuan yang dipelajari itu ikut membantu dalam memperjelas keimanan kepada Tuhan, maka hal itu justru diperintahkan. Dalam hal ini, karena akal diberikan tempat dalam kesadaran beragama, maka dalam perkembangan dewasa ini, apresiasi terhadap ilmu pengetahuan malah begitu berkembang dalam Islam.
Ketiga, masalah kitab suci—dalam hal ini Al-Qur'an—tidak bisa salah, statemen ini justru merupakan pandangan umum kaum muslimin. Kaum muslim tidak meragukan sedikitpun atas kebenaran Al-Qur'an. Dilihat dari sudut—ketiga—ini, justru sejak awalnya kum muslim sudah fundamentalis.
Keempat, masalah mencap orang yang tidak sependapat dengan itu semua sebagai “Islam yang tidak benar”, kiranya hal ini bersifat relatif. Sebab kesadaran adanya perbedaan mazhab amat menonjol sepanjang sejarah Islam, sehingga paham inklusivisme intra-agama, kurang lebih hidup dalam masyarakat.
Mempehatikan ciri-ciri ataupun gagasan-gagasan fundamentalis untuk diterapkan pada Islam, dapat dimengerti terdapat hal yang problematis. Karenanya tidak sepenuhnya tepat mengalamatkan fundamentalisme kepada Islam. Sebenarnya istilah fundamentalisme itu sendiri, untuk pertama kalinya ditransfer ke Asia Barat oleh pers Amerika, dalam rangka menggambarkan protes-protes yang menentang Syah Iran pada akhir tahun 1970-an. Karena itu dalam Islam, isitilah fundamentalis ini oleh Barat selalu berkonotasi pejoratif, yakni digunakan untuk menyatakan atau menyebut “lawan” bukan untuk menyebut diri kita sendiri. Di sini fundamentalis adalah reaksioner, otoriter, tidak masuk akal, literalis, tidak kosmopolit, anti modern, mungkin juga paranoid. Meskipun begitu, istilah fundamentalisme pada fenomena Islam—dalam konteks arti sosiologis, bukan jurnalistik—tetap bisa digunakan, asal dengan hati-hati. Dalam konteks sosiologis, fundamentalisme terkait dengan fenomena sektarianisme. Orang-orang yang berada di luar mereka dianggap bukan orang yang beriman sebenarnyaa. Kaum fundamentalis akan selalu membuat berbagai pembaharuan untuk memenuhi kebutuhan zaman yang mereka hadapi. Tetapi tidak ada gerakan fundamentalis yang sepenuhnya menghasilkan kembali pola asli yang mereka rindukan.
C. Fundamentalisme dalam Agama Monolitik
1. Kristen Fundamentalis
Umat Kristen Protestan liberal dan konservatif di Amerika Serikat pada tahun-tahun awal abad ke-20, yang disebut dengan zaman progresif (1900—1920), terlibat dalam berbagai masalah yang timbul akibat kemajuan industri dan kehidupan kota yang pesat dan tidak teratur. Umat Protestan mengembangkan “Injil Sosial” untuk mensakralkan kota-kota dan pabrik-pabrik yang tidak bertuhan. Para pengikut Injil Sosial mendirikan “Gereja-gereja Institusional” untuk memberikan pelayanan dan fasilitas rekreasi kepada kaum miskin dan imigran-imigran baru. Umat Protestan Liberal seperti Charles Stelzle mendirikan New York Labor Temple pada tahun 1911 di lingkundan kota yang paling padat dan kumuh untuk membaptis sosialisme, mempelajari masalah-masalah urban dan perburuhan ketimbang menyelidiki hal-hal kecil yang tidak penting dari sejarah Alkitab, serta memerangi perlakuan-perlakuan kejam seperti mempekerjakan anak-anak di bawah umur sebagai buruh. Hal yang sama juga dilakukan oleh umat Kristen konservatif.
Pada akhirnya kaum konservatif sangat kritis terhadap Injil Sosial. Menurut mereka, adalah sia-sia menyelamatkan sebuah dunia yang memang sudah tidak mungkin diselamatkan. William B. Rilley, yang mendirikan Northwestern Bible School pada tahun 1902, tidak dapat menerima metode yang digunakan kaum Injil Sosial. Tetapi pada tahun 1909, Charles Eliot, profesor dari Universitas Harvard, dalam ceramahnya tentang “Masa Depan Agama” menyatakan bahwa agama baru ahanya akan memiliki satu perintah: Cinta Tuhan yang diekspresikan dengan praktek pelayanan terhadap sesama. Kehadiran Tuhan akan sedemikian nyata dan ada di mana-mana, sehingga tidak diperlukan lagi kebaktian. Umat Kristen tidak lagi dapat memonopoli kebenaran, selama gagasan para ilmuwan, kaum sekular, atau kaum beragama lainnya juga memiliki kebenaran. Melalui ceramahnya ini Eliot berusaha mencari jawaban terhadap masalah nyata umat Kristen di dunia modern dengan menciptakan kepercayaan yang lebih menitikberatkan kepada praktek dibanding dengan kepercayaan-kepercayaan ortodoks.
Kaum konservatif terkejut. Menurut mereka, kepercayaan tanpa doktrin yang sempurna bukanlah agama Kristen. Pada tahun 1910 di Princeton, mereka memformulasikan lima doktrin kitab suci, meliputi: (1) kebenaran mutlak kitab suci, (2) kelahiran Kristus dari Perawan Suci, (3) penyaliban Kristus sebagai penebus dosa, (4) kemunculan kembali Kristus secara fisik, dan (5) realitas mukjizat yang obyektif. Kaum konservatif inilah yang kemudian menjadi fundamentalis.
Paham Kristen fundamentalis ini menunjukkan adanya ketakutan yang besar terhadap dunia modern. Ketakutannya membuat mereka berjuang mempertahankan hidupnya, dan dengan sangat mudah berubah menjadi sikap agresif. Bagi kaum liberal, doktrin itu tidak seharusnya terjadi. Menurut mereka, doktrin itu bukan hanya tidak-Amerika, tetapi juga pengingkaran terhadap agama Kristen itu sendiri. Ketegangan ini berlanjut dengan pecahnya perang. Pada tahun 1917, para teolog dari Divinity School di Universitas Chicago, sebuah institusi pendidikan Kristen liberal terkemuka di Amerika Serikat, mulai menyerang Moody Bible Institute. Para pengajar di Moody Bible Institute tidak hanya dipandang sebagai lawan politik, tetapi juga setan yang harus diperangi. Kaum konservatif menyerang balik dan keras. Targetnya adalah menyingkirkan kelompok liberal dari berbagai denominasi. Mereka menyebut kaum liberal adalah penyembah berhala, karena dengan menolak kebenaran harfiah doktrin, sama saja dengan menolak agama Kristen.
Tuduhan kaum konservatif semakin meluas. Pada tahun 1920, William Jennings Bryan menentang diajarkannya teori evolusi di sekolah dan perguruan tinggi. Menurutnya, Darwinismilah yang bertanggung jawab terhadap kekejaman pada Perang Dunia I. Darwinisme telah mempengaruhi bangsa Jerman untuk mendeklarasikan perang. Darwinisme juga membuat para pemuda kehilangan kepercayaan kepada Tuhan, Alkitab, dan doktrin-doktrin Kristen, serta membantah kebenaran harfiah Alkitab.
Upaya-upaya untuk meredakan kemelut ini telah dilaksanakan. Pada tahun 1917, William Bell Riley (konservatif), A.A. Dixon (editor The Fundamentalis), dan Reuben Torrey (revivalis), duduk berunding dan secara formal mendeklarasikan Asosiasi Fundamental Kristen Dunia (World Christian Fundamentals Association/WCFA). Asosiasi ini justru menimbulkan salah paham bagi masing-masing pihak. Upaya berikutnya adalah melalui pengadilan Scopes. Dalam pengadilan itu, Darrow membela kebebasan berbicara, sedangkan William Jenning Bryan membela hak-hak masyarakat biasa, yang telah lama menaruh curiga terhadap pengaruh kaum ahli dan terpelajar. Kaum liberal (Darrow) memenangkan persidangan itu, dan kaum fundamentalis (Bryan) terbungkam, dan tampak telah menghentikan perjuangan mereka. Tetapi pada kenyataannya, kaum fundamentalis belum hilang dari peredaran. Setelah persidangan itu, pandangan dikembangkan terus dan menjadi lebih ekstrim, serta terus melawan pandangan kaum sekular dengan cara yang lebih buruk.
Di saat kaum fundamentalis tengah memperkembangkan kepercayaan modern mereka, umat Pantekosta membuat suatu visi “postmodern” yang mewakili penolakan massa akar umput terhadap modernitas rasional era pencerahan. Mereka tidak tertarik kepada dogma, dan mencoba kembali ke level yang bahkan lebih fundamental lagi yang berada di balik rumusan sahadat keimanan. Umat Pantekosta melampauai bahasa yang seperti selalu diyakini para ahli mistik, tidak dapat mengekspresikan realitas yang ada di balik konsep dan pemikiran secara memuaskan. Mereka percaya bahwa Roh Kudus telah turun kepada mereka.
Kelompok pertama yang mengalami peristiwa Roh Kudus terjadi di dalam sebuah rumah kecil di Los Angeles pada tanggal 9 April 1906. pemimpin kelompok Pantekosta ini adalah William Joseph Seymoour. Seymour dan para penganutnya percaya bahwa hari-hari terakhir telah berlangsung, dan tidak lama lagi Yesus akan kembali ke dunia untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih adil. Tetapi hingga akhir Perang Dunia berakhir, tatkala mereka merasa Yesus belum juga kembali secepat yang mereka perkirakan, umat Pantekosta mulai mengartikan karunia bahasa mereka secara lain. Mereka kini melihat kemampuan itu sebagai cara baru untuk berbicara kepada Tuhan. St. Paulus telah menerangkan bahwa ketika umat Kristen merasa kesulitan untuk berdoa, Roh Kudus sendiri yang akan mewakilinya dengan erangan di luar segala ungkapanyg dikenal selama ini. mereka tengah mencoba menjangkau Tuhan yang keberadaan-Nya di luar ruang lingkup kata-kata.
Umat Pantekosta menancapkan akarnya ketika orang mulai menaruh keraguan terhadap ilmu pengetahuan, dan ketika orang beragama mulai merasa khawatir bahwa pandangan yang hanya bertumpu pada logika saja dapat menimbulkan implikasi yang menghawatirkan terhadap agama. Umat Pantekosta menggali kembali sumber bahwa sadar dari mitologi dan agama. Mereka menunjukkan kerincuan umat manusia terhadap ekstasi dan transendensi.
Gerakan-gerakan umat Pantekosta menunjukkan ada “sesuatu yang hilang” dari dunia Barat modern itu. sesuatu yang hilang itu adalah kebutuhan yang kuat terhadap spiritual, di saat akal pikiran telah mencapai tahapan kompleksitas dan kegentingan agama tertentu. Pada saat ini mereka yakin bahwa bahasa tidak lagi mampu mengekspresikan realitas.
Menurut Harvey Cox, intelektual Amerika yang mempelajari Pantekosta, menyatakan bahwa gerakan tersebut adalah sebuah usaha untuk memperoleh kembali pengalaman-pengelaman yang telah ditolak oleh dunia Barat Modern. Gerakan itu bisa dilihat sebagai pemberontakan masyarakat bawah terhadap pemujaan logika zaman modern.
2. Yahudi Fundamentalis
Gerakan menarik diri dari bentuk-bentuk agama yang terlampau mengandalkan logika yang marak berkembang salama abad ke-19 juga terlihat di dunia Yahudi. Para filosof Jerman seperti Herman Cohn (1842-1918) dan Franz Rosenzweig (1886-1929) mencoba melestarikan nilai-nilai pencerahan, meskipun Rosenzweig juga berusah amenghidupkan kembali ide-ide kuno tentang mitologi dan ritual dalam cara yang dapat dipahami oleh masyarakat modern. Dia menjelaskan berbagai perintah di dalam Kitab Taurat, yang tidak selalu bisa dijelaskan dengan akal, adalah sebagai simbol yang menunjuk hal-hal di luar dirinya sendiri ke arah Tuhan. Asher Ginsberg (1856-1927), penulis zionis, merasa yakin bahwa bangsa Yahudi harus mengembangkan sebuah cara yang lebih rasional dan ilmiah dalam memandang dunia. Tetapi dia ingin kembali kepada esensi Yahudi yang hanya bisa didapat jika bangsa Yahudi kembali ke akarnya dan menetap di Palestina. Karena itu, kembali ke Zion, menjadi semacam perjalanan batin.
Aharon David Gordon (1856-1922), seorang Yahudi ortodoks dan pengikuti Kabbalis, tetapi juga mempelajari Kant, Schopenhauer, Nietzsche, Marx, dan Tolstoy, menyatakan bahwa masyarakat industri modern mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Mereka telah mengembangkan pendekatan terhadap hidup yang terlalu rasional dan berat sebelah. Karena itu mereka harus menumbuhkan chavayah, pengalaman berkorban secara mistis dan langsung, dengan membenamkan diri semaksimal mungkin di tengah-tengah kehidupan alam, karena di sanalah Yh Maha Kuasa menampakkan diri pada manusia. Tempat untuk melaksanakannya harus di Palestina. Selanjutnya mereka harus bekerja keras (avodah). Bagi Yahudi, tegas Gordon kesucian dan kemurnian tidak lagi ditemukan pada praktek-praktek peribadatan konvensional, tetapi pada kerja keras di perbukitan dan tempat-tempat pertanian di Galilee (Palestina).
Tokoh agama yang paling berani dan inovatif untuk mespiritualkan orang-orang sekuler dikembangkanoleh Rabi Abraham Yitzak Kook (1865-1935). Kook dididik dalam tradisi Yahudi. Menurutnya, aliran kerja keras (avodah) percaya bahwa mereka telah melepaskan agama, namun Zionisme ateistik ini hanya merupakan sebuah fase. Tuhan masih ada di kalangan para pelopor “percikan” Tuhan terperangkap di dalam “lapisan tipis” kegelapan ini dan menanti pembebasan. Entah mereka sepakat atau tidak, orang Yahudi pada dasarnya tak terpisahkan dari Tuhan dan mewujudkan rencana Tuhan tanpa menyadarinya.
Di sisi lain, dia menyatakan bahwa nasionalisme dapat menjadi hal yang mematikan dan juga tanpa dilandasi keimanan, politik dapat menjadi bengis. Ideologi sekuler murni dapat menginjak-injak bayangan Tuhan dalam diri manusia, kalau kepentingan negara diletakkan di atas segala-galanya, tak ada yang dapat mencegah penguasa untuk memusnahkan segala sesuatu yang menjadi penghalangnya. Karenanya Kook mencoba mengembangkanmitos baru yang menghubungkan perkembangan luar biasa pada zamannya dengan simbol Kabbalah yang tidak mengenal batas waktu. Tetapi sebagai manusia modern, di amengarahkan mitosnya itu pada masa depan. Kook berpendapat, adalah penting untuk menghancurkan hukum-hukum sakral di masa lalu dan membuat kembali hukum yang baru. Mitos itu menggambarkan dinamika yang penuh gejolak dan menyakitkan yang mempercepat gerak sejarah menuju abad penghabisan; dan dia benar-benar percaya bahwa dirinya hidup pada abad penghabisan itu dan tidak lama lagi bakal menyaksikan penyelesaian akhir sejarah manusia.
Kook tidak bermaksud agar mitosnya menjadi ideologi untuk menjadi cetak biru bagi tindakan. Tetepi setelah ia meninggal dunia, putranya, Zvi Yehuda, menjadikan mitos ayahnya sebagai program untuk kegiatan politik praktis dan membentuk sebuah gerakan fundamentalis. Tokoh-tokoh fundamentalis (Misnagdig dan Hasidim) melihat bahwa berbagai partai Zionis dan partai sosialis Yahudi tengah menarik bangsa Yahudi ke jalan hidup yang tak bertuhan (sekular). Mereka bermaksud menghentikan sekularisme itu dengan cara memerangi kaum sekular dengan cara modern melalui parti.
Pada tahun 1901 Misnagdig dan Hasidim mendirikan partai Agudat Israel (Serikat Israel), dan didukung oleh anggota Mizrachi, sebuah perkumpulan zionis religious yang didirikan oleh Rabi Isaac Jacoob Reines (1839-1915). Bagi Reines, aktivitas politik kaum Zionis tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama, tapi pembentukan tanah air Yahudi adalah solusi praktis bagi orang-orang yang teraniaya, dan karenanya pantas didukung oleh kaum ortodoks. Jacoob Rosenheim (1870—1965) memandang Agudat sebagai lambang kedaulatan Tuhan atas Israel dan harus menjadi organisasi sentral dalam dunia Yahudi. Isaac Breuer (1883-1946) lebih radikal, ia menginginkan Agudat mengambil peran aktif dan memulai kampanye mendukung reformasi dan sakralisasi masyarakat Yahudi.
Sebagai fundamentalisme yang berkembang di agama Kristen, Yahudi fundamentalis-pun tidak bersifat seketika terhadap masyarakat sekular modern. Ia baru berkembang setelah proses modernisasi telah cukup maju. Awalnya kaum tradisionalis—seperti Agudat—mencoba menemukan cara menyesuaikan agama mereka dengan tantangan baru itu, sekaligus membuktikan bahwa hal-hal itu tidak bertentangan dengan agama, dan bahwa agama cukup kuat menyerap dan menerima perubahan-perubahan tersebut. Tetapi ketika masyarakat telah berubah menjadi sangat sekular dan rasional, sbagian kaum tradisionalis ini merasa bahwa modernitas secara diametral bertentangan dengan ritme agama dan mengancam nilai-nilai agama yang esensial. Mereka mulai merumuskan suatu solusi “fundamentalis” berupa kembali kepada prinsip-prinsip dasar dan merencanakan serangan balasan.
3. Islam Fundamentaslis
Umat Islam pada awal abad kedua puluh, pada umumnya tidak disibukkan kepada pemahaman keagamaan; liberal atau konservatif. Mereka sibuk dapat upaya mengejar ketertinggalan dari Barat. Ada yang melihat bahwa sekularisme Barat merupakan jawabannya sehingga muncul pemikiran apakah akan menyerap ide-ide baru itu dalam konteks Islam atau mengambil ideologi yang sepenuhnya sekuler. Namun ada perbedaan antara Barat dan Islam. Di Barat, “Tuhan” dipandang sebagai suara keterasingan; di dunia Islam suara itu berasal dari proses kolonial. Karenanya, fundamentalisme tidak muncul dalam dunia Islam, kecuali modernitas Barat diterapkan di sana.
Hal itu telrihat jelas pada negara sekuler baru Turki yang lahir setelah kekaisaran Usmaniah runtuh pada tahun 1917. Mustama Kemal Attaturk (1881-1938) membentuk sebuah pemerintahan berdaulat yang dijalankan dengan cara Eropa modern. Ini adalah yang pertama kali dalam dunia Islam. Tahun 1947, Turki telah memiliki birokrasi pemerintahan yang efisien dan perekonomian kapitalis, dan menjadi negara demokrasi sekuler dengan multipartai yang pertama di Timur Tengah. Pencapaiannya dimulai dengan tindakan pembersihan etnis.
Sekularisasi Turki oleh Attaturk juga bersifat agresif. Dia “membaratkan” Islam dan menjadikan agama betul-betul urusan pribadi, tanpa dipengaruhi hukum, politik, maupun ekonomi, dan ditempatkan lebih rendah daripada negara. Agresifitasnya juga tampak pada peniadaan orde sufi, menutup semua madrasah dan perguruan Al-Qur'an, mewajibkan berpakaian ala Barat, dan juga larangan memakai cadar dan kopiah. Kebijakan-kebijakan Attaturk ini mendapatkan kecaman dari Syekh Said Nursi, pimpinan orde Naqsabandi. Tetapi perlawanan yang dipimpin oleh Nursi ini dengan mudah ditaklukkan Attaturk dalam tempo dua bulan.
Terdapat perbedaan yang menyolok antara sekularisasi di Barat dengan di Turki. Di Barat, sekularisasi dirasakan sebagai proses pembebasan, bahkan dianggap sebagai cara yang lebih maju dan lebih baik dalam beragama. Sekularisme di sana adalah perkembangan positif yang membawa kepada toleransi yang lebih besar. Tetapi di Turki, sekularisasi dirasakan sebagai serangan yang bengis dan penuh paksaan.
Kecenderungan sekularisasi itu juga terdapat di Mesir. Tahun 1922 Inggris memberikan kemerdekaan terbatas kepada Mesir, dan Khideve Fuad menjadi raja baru. Kepada Mesir diberikan konstitusi liberal, dan sebuah lembaga parlemen perwakilan. Inggris masih memegang kendali dalam bidang pertahanan dan politik luar negeri. Meskipun kemerdekaan Mesir itu bukan kemerdekaan yang sesungguhnya, namun pemikir-pemikir terkemuka Mesir tampak cenderung berpihak pada gagasan sekuler, percaya bahwa rahasia kesuksesan Eropa adalah nasionalisme.
Luthfi al-Sayyid (1872-1963), salah seorang murid Muhammad Abduh, percaya bahwa rahasia kesuksesan Barat adalah cita-cita nasionalisme, dan kaernanya penting untuk mencangkokkan institusi-institusi modern pada dasar keislaman. Ali Abdul Raziq dalam al-Islam wa Ushul al-Hukm-nya mengajak negara Mesir modern harus memutuskan hubungannya dengan agama. Dia menjelaskan bahwa institusi kekhalifahan tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an dan bahwa nabi Muhammad bukanlah kepala negara atau kepala pemerintahan dalam pengertian seperti pada abad ke-20, sehingga tidak ada larangan apapun bagi Mesir untuk membentuk negara sekuler. Rasyid Ridha melalui karyanya al-Khalifah mengusulkan pembentukan negara Islam yang sepenuhnya modern berdasarkan syari’at. Seperti kaum reformis lainnya, dia mencoba menyerap ajaran dan nilai-nilai Barat modern dengan cara menempatkannya ke dalam konteks Islam. Menurut Ridha, sekularisme bukanlah jawaban.
Berbeda dengan Mesir, Iran pada awal abad kedua puluh percaya bahwa rahasia kesuksesan Eropa adalah pemerintahan yang konstitusional. Kaum ulama Iran sering kali berada di barisan depan perubahan dan akan terus memainkan peran menentukan dalam perinstiwa-peristiwa yang akan datang. misalnya menuntut agar Syah membentuk “lembaga peradilan” dan penandatanganan konstitusi oleh Muhammad Ali yang mengambil model dari konstitusi Belgia yang mewajibkan raja untuk meminta persetujuan Majelis terhadap semua urusan penting.
Dibalik penampilan kerjasama antara golongan agama yang liberal dengan kaum reformis ini, di dalam tubuh Majlis terdapat perbedaan yang mendalam. Kaum reformis menganggap ulama sebagai penghalang kemajuan. Ulama yang bergabung dengan kekuasaan reformis itu mengharapkan dikeluarkannya undang-undang yang menetapkan syariat sebagai hukum negara. Sampai di sini peran Syiah belum tampak jelas. Sebagian pengamat percaya bahwa mereka terutama dimotivasi oleh keinginan untuk melindungi kepentingan dan hak-hak prerogatif mereka sendiri, dan untuk menangkis gangguan dari kalangan kafir Barat. Sebagian yang lain berpendapat bahwa dengan mengusulkan konstitusi yang membatasi kekuasaan Syah yang lalim, kaum ulama liberal berarti telah memenuhi kewajiban lama Syiah untuk memerangi tirani.
Syekh Fadlullah Nuri (1843-1909) salah satu tokoh agama terkemuka di Teheran merasa gelisah terhadap konstitusi yang ada. Dia berpendapat bahwa berhubung semua pemerintah tidak sah tanpa kehadiran Imam Gaib, maka parlemen baru itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pada mujtahidlah, dan bukan Majlis, yang mewakili Imam sehingga mereka yang seharusnya membuat hukum dan melindungi hak-hak masyarakat. Namun pandangan Nuri itu hanya mewakili jumlah minoritas. Sebagian besar mujtahid di Najaf mendukung konstitusi. Mereka menolak permintaan Nuri untuk sebuah negara syari’at dengan pertimbangan bahwa mustahil menerapkan hukum Islam secara tepat tanpa bimbingan langsung Imam Gaib. Dengan demikian, pada akhir dekade abad ke-20, sekularisme tampaknya memperoleh kemenangan.